Pergub No. 228/2015 Inkonstitusional dan Anti Demokrasi

0

rakyat lawan militerismeSolidaritas.net, Jakarta – Peraturan Gubernur No. 228 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) paling tidak mengandung dua serangan terhadap demokrasi yang tidak saja inkonstitusional, tapi melanggar hak demokrasi rakyat.

Pertama, membatasi lokasi unjuk rasa hanya di tiga tempat, yakni Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas). Selain itu, Pergub ini juga membatasi suara pengunjuk rasa maksimal 60 desibel dan melarang kegiatan jual beli perbekalan.

Keputusan ini jelas bertentangan dengan UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum pasal 9 ayat (2) menyebutkan:

“Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan (b) objek vital nasional; (c) pada hari besar nasional.”

Di bagian penjelasan pasal ini disebutkan yang dimaksud dengan pengecualian di lingkungan istana kepresidenan adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar. Sementara pengecualian untuk instalasi militer meliputi radius 150 meter dari pagar luar, dan pengecualian untuk objek vital nasional meliputi radius 500 meter dari pagar luar.

Jadi, pelarangan berdemo di depan Istana Negara ataupun di tempat terbuka untuk umum lainnya adalah sepenuhnya bertentangan dengan UU No. 9 tahun 1998. UU ini juga tidak secara jelas melarang penyelenggaraan demonstrasi damai pada malam hari, di bagian penjelasan pasal 13 ayat (1) poin (b) disebutkan: “Koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab dimaksudkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan pada malam hari.” Artinya, mungkin saja melakukan unjuk rasa damai pada malam hari selama dilakukan secara aman, tertib dan damai. Yang menjadi masalahnya, justru pihak Kepolisian yang kerap memprovokasi massa aksi dengan melakukan pembubaran paksa.

Pasal 28J ayat (2)  UUD 1945 menyebutkan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Berdasarkan konstitusi, satu-satunya instrumen hukum yang dapat membatasi hak dan kebebasan adalah Undang-Undang, bukan instrumen lainnya, apalagi peraturan gubernur belaka. Konkretisasi dari pasal 28J UUD 1945 ayat (2) sudah dijabarkan di dalam UU No. 9 tahun 1998.

Kedua, Pergub Ahok ini secara arogan melibatkan TNI dalam menangani aksi unjuk rasa. Pasal 13 Pergub No. 228 tahun 2015 menyebutkan pelarangan terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan pasal 10 akan dibubarkan oleh anggota Satpol PP dan/atau bersama Kepolisian dan/atauu Tentara Nasional Indonesia.

Hal ini bertentangan dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI di mana pasal 7 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa TNI menangani operasi militer selain perang seperti membantu tugas pemerintahan daerah dengan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Penjelasan pasal 5 UU ini menjelaskan yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pembuatan Pergub yang dilakukan oleh Ahok hanya berdasarkan kewenangannya sebagai seorang Gubernur belaka. Entah bagaimana Ahok menabrak UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU TNI sekaligus, selain memang Ahok adalah tipikal elit politik yang anti demokrasi.

Secara politik, ini jelas lah sangat berbahaya, kita menghadapi segerombolan elit politik dan gagasan-gagasan anti demokrasi yang didesakkan melalui berbagai instrumen peraturan. Dan celakanya, rakyat selama bertahun-tahun mengalami kemiskinan dan kesengsaraan menyandarkan diri pada ilusi-ilusi retorika dan pencitraan kerakyatan yang dibangun oleh elit-elit politik. Rumusnya adalah memberikan sogokan kesejahteraan kepada sebagian kecil orang dan menggunakan media untuk mengampanyekannya, sementara sebagian besar rakyat menderita dalam berbagai situasi.

Elit-elit politik seperti Ahok dan Prabowo yang sebenarnya represif, bahkan memiliki skandal HAM di masa lalu bisa disulap menjadi pemimpin yang tegas yang seolah-olah karya mereka akan sanggup mengatasi persoalan kemiskinan rakyat. Begitu pula Jokowi yang gemar blusukan dianggap mampu mendengarkan dan menyelesaikan persoalan rakyat. Padahal, dalam sejarahnya, tidak ada rumus persoalan penderitaan rakyat ini akan selesai dengan kepahlawanan elit-elit politik.

Di mana pun juga, pemimpin-pemimpin rakyat akan mengajak rakyat berorganisasi dan bergerak membantu menjalankan program-program kerakyatan itu sendiri, bukan membuat rakyat menunggu pertolongan belaka atau sekadar menjadi relawan pemenangan saat Pemilu. Lalu, setelah Pemilu rakyat disuruh bersabar menunggu beberapa tahun lagi elit-elit politik yang menang ini menjalankan program-programnya yang hanya memberikan recehan kecil pada si miskin.

Aksi-aksi unjuk rasa ini tidak berhenti, karena ketika penguasa memberikan sogokan recehan pada si miskin, jutaan kaum miskin lainnya akan meminta bagian mereka. Saat unjuk rasa terus bertambah karena penguasa tidak mampu menyejahterahkan seluruh rakyat, maka penguasa membutuhkan alat represi yang lebih masif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *