Sukabumi – Pada tanggal 10 April 2016 lalu, hampir seluruh buruh PT Pilar Putra Sejati (PPS) yang berlokasi di Sukabumi, Jawa Barat, melakukan aksi mogok total. Aksi ini dipicu keterlambatan pembayaran gaji. Perusahaan seharusnya membayar gaji setiap tanggal 10. Tetapi, pada bulan Mei lalu, perusahaan menyicil pembayaran gaji dari tanggal 10 sampai 24 Mei 2016.
Pemogokan buruh garmen Rochester, New York, 1913. Foto: Wikipedia.org |
Melalui surat pemberitahun tanggal 9 Juni 2016, buruh mengancam mogok jika upahnya dicicil, pengusaha malah menantang. Buruh pun mewujudkan pemogokan ini menjadi kenyataan, bukan sekadar ancaman. Mereka menghentikan produksi dan berkumpul dengan tertib di halaman pabrik.
Perusahaan memenuhi tuntutan buruh yang memproduksi apparel merek Nike dan Adidas ini, pada hari itu juga.
“Berkat kekompakan dan persatuan buruh akhir nya perusahaan pun langsung mengabulkan tuntutan serikat dimana upah tetap diberikan secara full 100% pada hari ini juga yatu tangal 10 Juni 2016,” terang Zaenal, ketua serikat buruh yang bernaung di bawah Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) tersebut.
Diketahui, menjelang perhelatan Piala Eropa 2016 dan awal musim Liga Sepak Bola di Eropa, permintaan akan apparel brand ternama, seperti Nike dan Adidas, sedang meningkat. The Repucom European Football Jersey Report melaporkan peningkatan pendapatan sponsor kaos liga-liga papan atas Eropa meningkat rata-rata 13 persen.
Bagi buruh garmen, saat ini adalah musim meningkatnya lemburan karena lebih banyak pesanan untuk perusahaan. Hampir 99 persen buruh garmen adalah perempuan yang bekerja menjahit merek-merek ternama dunia. Mereka diupah hanya Rp 3-4 juta per bulan, sedangkan harga kaos atau sepatu yang mereka hasilkan dapat mencapai lebih dari satu juta rupiah per item. Masalah umum yang dirasakan oleh buruh di sektor garmen adalah upah di bawah ketentuan upah minimum, lembur tidak dibayar, kerja kejar target (kerja paksa), sanitasi yang tidak memadai, cuti haid tidak ada dan ketiadaan cuti melahirkan. Situasi ini melahirkan keresahan yang seringkali bermuara pada pemogokan.
Buruh melakukan pemogokan berdasarkan spontanitas merespon kemendesakan situasi yang menimpa mereka. Banyak dari mereka yang tidak menyadari, misalnya, saat terbaik melakukan pemogokan adalah ketika pesanan sedang meningkat yang ditandai dengan permintaan lembur terus-menerus dari pengusaha. Seringnya, pengusaha memberikan lebih banyak upah lemburan yang justru mencegah buruh melakukan mogok pada saat itu. Hal ini umum terjadi dalam kondisi kerja buruh elektronik dan otomotif.
Resiko pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi momok yang menakutkan bagi buruh yang berniat melakukan pemogokan. Sebab, dalam aturan ketenagakerjaan yang dikenal adalah ‘mogok sah’ dan ‘mogok tidak sah’.
Begini, definisi sederhana mogok adalah menghentikan proses produksi secara serentak, bersama-sama atau kompak. Namun, di dalam UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, mogok kerja diwajibkan memenuhi legalitas hukum. Syarat mogok sesuai aturan tersebut adalah: akibat gagalnya perundingan, memberitahukan secara tertulis 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan kepada pengusaha dan pemerintah, memberitahukan waktu dimulai dan diakhirinya mogok kerja, alasan mogok kerja dan penanggung jawab kegiatan mogok kerja, untuk perusahaan yang melayani kepentingan umum, mogok harus diatur sedemikian rupa, pemerintah dan perusahaan yang menerima pemberitahuan mogok wajib memberikan tanda terima, sebelum dan selama terjadi mogok maka instansi bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikaan masalah tersebut, jika berunding tidak menghasilkan kesepakatan maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani pegawai ketenagakerjaan sebagai saksi, jika dalam perundingan tidak menghasilkan kesepakatan maka pegawai dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan harus menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang. Jika mogok dinilai ilegal, maka buruh dapat dikenai PHK dengan mudah.
Menurut Andri Yunarko, buruh yang pernah bekerja di PT Cartinie Lingerie dan sekarang aktif di Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (SEDAR), hal pertama yang harus dilakukan agar mogok kerja berhasil adalah menganalisa kekuatan buruh yang hendak melakukan mogok kerja, kondisi pabrik dan pengusaha.
Harus dipahami betul bagian penting dalam perusahaan yang berpengaruh besar terhadap proses produksi. Kondisi order juga harus benar-benar diperhatikan, sebab mogok kerja tidak akan efektif apabila kondisi order sedang rendah atau menurun.
Demikian pula dengan jumlah ketersediaan barang, apabila jumlah barang usai proses produksi tersedia untuk pesanan dalam hitungan bulan, sedangkan mogok kerja hanya berlangsung dalam waktu tiga hari misalnya, maka mogok tersebut tidak berpengaruh signifikan.
Analisa terhadap pengusaha juga penting, khususnya prediksi terhadap serangan balik pengusaha. Biasanya pengusaha menggunakan kekuatan aparat, ancaman PHK untuk menekan buruh, dan memberikan iming-iming uang dan jabatan kepada buruh yang akan mogok kerja yang tujuannya adalah melemahkan perjuangan buruh.
Kasus seperti itu pernah terjadi di PT Dai Nippon Printing (DNP),pengusaha memanggil buruh yang tengah melakukan mogok kerja, bagi buruh yang tidak memenuhi panggilan dinyatakan mengundurkan diri. Akibatnya dari 100 persen buruh yang melakukan mogok kerja, 70 persen buruh memilih kembali bekerja dan mengakhiri mogok kerja.
Jadi, kunci dari keberhasilan suatu pemogokan adalah analisa proses produksi dan kekompakan.