Perjanjian Kerja Bersama Sebagai Program Persatuan Gerakan Buruh

Foto ilustrasi (kredit suaraburuh.wordpress.com)
Foto ilustrasi (kredit suaraburuh.wordpress.com)

Solidaritas.net – Secara umum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Indonesia dipahami oleh mayoritas buruh sebagai perjanjian antara serikat buruh di satu perusahaan dengan pemilik perusahaan tersebut, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Namun jika mengacu pada aturan ketenagakerjaan, pasal 1 angka 21 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat buruh atau beberapa serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Ini berarti bahwa Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dapat dirundingkan tidak hanya antara serikat buruh di satu perusahaan dengan pengusahanya saja. Melainkan juga dapat dirundingkan antara beberapa serikat buruh dengan beberapa pengusaha dari perusahaan yang berbeda. Dapat juga dirundingkan antara beberapa serikat buruh dengan perkumpulan pengusaha di sektor industri yang sama.

Di website Kementerian Perindustrian RI saat ini tercatat setidaknya 23 perkumpulan pengusaha di sektor industri yang sama di Indonesia, misalnya Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dan lain sebagainya.

Di samping itu juga terdapat perkumpulan penanam modal asing, seperti asosiasi pengusaha Jepang, Amerika, Korea dan lain-lain yang menjalankan usahanya di Indonesia. Perkumpulan penanam modal asing ini sering berdialog (bernegoisasi) dengan pemerintah untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan bagi usahanya.

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dapat juga dirundingkan antara beberapa serikat buruh dengan beberapa pengusaha meski di sektor industri yang berbeda. Misalnya saja perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara beberapa serikat buruh dengan beberapa pengusaha di kawasan industri yang sama.

Atau bahkan perundingan Perjanjian Kerja Bersama antara beberapa serikat buruh dengan beberapa pengusaha, di sektor industri yang berbeda, dengan lokasi usaha di wilayah yang berbeda, meski hal ini cenderung lebih sulit untuk diwujudkan.

Kendala utama yang dihadapi buruh/serikat buruh untuk melaksanakan hal ini bukanlah terletak pada persoalan teknis perundingan itu sendiri, melainkan perbedaan kepentingan di antara serikat-serikat buruh yang ada. Terutama kepentingan elit-elit serikat buruh yang masih menjadi faktor dominan, masih ditambah lagi pengaruh kepentingan partai dan elit politik borjuasi dalam tubuh serikat buruh.

Namun mewujudkan hal ini akan membawa dampak positif yang cukup signifikan bagi gerakan buruh, yaitu penyatuan kekuatan kaum buruh. Tidak hanya bersatu pada momen tertentu sebatas pada aksi bersama saja, seperti yang telah jamak dilakukan di Indonesia, tetapi lebih jauh, penyatuan program dan siasat perjuangan.

Oleh karena itu diperlukan proses penyadaran yang berkelanjutan untuk membangun kesadaran klas pada kaum buruh. Serta mengurangi, bahkan menghilangkan, budaya ketergantungan pada elit dalam gerakan buruh. Sebab secara umum, kepentingan buruh di tingkat akar rumput berbeda dengan kepentingan elit-elit serikat buruh, sehingga persatuan kaum buruh akan lebih kuat jika dibangun dari tingkatan akar rumput.

Tinggalkan Balasan