Solidaritas.net-Perjuangan buruh melawan kekuasaan kolonial dihilangkan dalam pelajaran sejarah. Buktinya, selama ini dalam pelajaran sejarah yang ada di bangku sekolah maupun perguruan tinggi, hampir tidak menyinggung soal aksi massa, pemogokan, boikot ekonomi.
Buku karya John Engelson. Sumber www.homerianshop |
Peran perjuangan melawan kekuasaan kolonial lebih banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh feodal. Ketika sejarah kebangkitan nasional, peran tokoh feodal digantikan oleh perjuangan Budi Utomo, Sarekat Islam, dan berbagai organisasi-organisasi lainnya.
Padahal, dalam buku “Buruh, Serikat dan Politik” karya John Engelson dapat memberikan gambaran perjuangan melawan kekuasaan kolonial Belanda juga dilakukan oleh buruh. Saat serikat buruh mulai banyak muncul, menjadi kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda kalau serikat buruh dan perjuangannya akan mengarah pada perjuangan Indonesia merdeka.
Kelahiran serikat buruh di Hindia Belanda memberikan gagasan-gagasan baru terhadap metode perjuangan melawan kekuasaan kolonial. Kemuculan serikat buruh mejadi alat perjuangan baru. Pada awalnya landasan pendirian serikat buruh sebagai perjuangan menuntut perbaikan kondisi kerja, kenaikan upah, dan juga advokasi.
Namun, intervensi kaum sosialis terhadap serikat buruh membentuk kesadaran untuk membebaskan diri, sebagai kaum pribumi, atas kekuasaan kolonial. Sepanjang tahun pada awal abad ke 20, perjuangan serikat buruh menjadi perlawanan yang populis di kalangan gerakan.
Aktivitas yang dilakukan oleh kaum gerakan atau aktivis lebih banyak dilakukan untuk mengorganisasi perjuangan buruh. Ada banyak serikat buruh yang bermunculan, salah satunya Vereniging Van Spoor en Tram Personeel (VSTP).
VSTP didirikan di Semarang pada 14 November 1908. Di bawah kepemimpinan Semaun, VSTP menjadi serikat buruh yang paling radikal dan militan. Tidak heran kalau Pemerintah Hindia Belanda sangat berati-hati atas aktivitas yang dilakukan oleh VSTP. Terlebih lagi ketika adanya Intervensi kaum sosialis Belanda, Henk Snevliet, yang memberikan gagasan melawan kolonialisme di negeri jajahan.
Semakin masifnya aktivitas serikat-serikat buruh melakukan rapat-rapat akbar, demonstrasi, vergadering, tuntutan kondisi kerja, upah, menyebarkan pamfet dll, dianggap semakin membahayakan.
Dalam buku Ingelson juga dijelaskan, untuk mencegah semakin radikalnya gerakan buruh, Pemerintah Hindia Belanda mengamandemen Undang-Undang Negara 1854 sebagai alat kontrol terhadap negara.
Ditambahkan pasal yang melarang hasutan umum yang mengancam ketertiban umum, seruan melakukan mogok di muka umum dinyatakan sebagai kegiatan yang ilegal, serta ditambahakan juga pasal tentang “menyebarkan kebencian” yang memberikan kekuasaan yang besar teradap negara untuk meredam gerakan buruh.