Kontrak mandiri, atau mengurus proses kontrak kerja tanpa menggunakan agen jasa penyalur (agency) untuk bekerja dengan majikan bagi pekerja rumah tangga di Hong Kong, diberlakukan kembali. Perjalanan panjang perjuangan buruh migran ini dimulai sejak tahun 2000. Buruh migran memperjuangkannya dengan berbagai cara. Dari mulai dialog, kampanye, aksi dan lobi baik menuntut kepada pemerintah di tanah air maupun di negara penempatan.
BMI menuntut kebebasan berkontrak. Foto: Ramses / dok. Kobumi |
Perjuangan kontrak mandiri ini juga adalah salah satu cara melawan overcharging (biaya penempatan yang berlebihan) yang selama ini membelenggu buruh migran Indonesia (BMI) dengan biaya penempatan yang tinggi. Tercatat dari tahun 2000 – 2015, biaya agen mencapai HK $ 21 000, dan dibayar dengan menyicil sebanyak tujuh kali. BMI mengeluarkan HK $ 3000 per bulan selama tujuh bulan pertama di Hong Kong.
Sebelum tahun 2004, BMI dilarang untuk melakukan proses kontrak dengan majikan secara mandiri atau direct hiring. Hal ini menyebakan buruh migran terjebak pada pungutan biaya agen yang mahal. Hal ini bukan saja terjadi kepada BMI pendatang baru di Hong Kong, tapi juga BMI yang memperpanjang kontrak dengan majikan atau BMI yang berganti majikan.
Sebenarnya, aturan resmi pemerintah Hong Kong hanya membolehkan 10% dari upah BMI digunakan membayar jasa penyalur. Namun, karena aturan penyalur yang mengikat BMI, penyalur menjadi semena-mena menerapkan biaya agen sampai berkali-kali lipat. Kondisi ini kemudian dibandingkan dengan buruh migran dari negeri lain yang bisa memproses kontrak secara direct hiring. BMI merasa sangat dirugikan oleh agen penyalur. Hal inilah yang mendasari tuntutan kontrak mandiri segera diberlakukan untuk BMI.
Tahun 2004, kembali protes yang dilakukan oleh BMI yang tergabung dalam organisasi PILAR melakukan aksi dan berhasil memobilisasi massa dalam aksi puncak pencabutan SE 2524 tentang pelarangan kontrak mandiri. Aksi tersebut berhasil membuat KONJEN Ferry Adam Har turun dan membacakan sendiri pencabutan SE 2524 dan mengumumkan diijinkannya proses kontrak mandiri. Kemenangan ini disambut dengan suka cita oleh BMI.
Tahun pertama syarat kontrak mandiri ini sangat mudah, hanya diperlukan tiga persyaratan bagi buruh migran, yaitu bisa dilakukan hanya dengan mengajukan dokumen ID-HK, paspor dan kontrak kerja lama. Namun pada tahun-tahun berikutnya, ada 13 syarat yang harus dipenuhi dan beberapa syarat yang harus didatangkan dari tanah air.
Beberapa syarat sangat memberatkan BMI, yaitu harus ada perjanjian yang di-tanda-tangani di depan pengacara hanya untuk memastikan BMI diberi fasilitas layak, padahal secara jelas sudah tertulis di perjanjian kontrak kerja yang ditanda-tangani oleh majikan dan buruhnya. Syarat lainnya adalah mengirim surat kepada PJTKI yang memberangkatkannya untuk memberitahukan bahwa BMI sudah tidak menjadi tanggung jawab PJTKI , dan surat tersebut harus melalui register cap kantor pos di Hong Kong.
Tidak sampai setahun BMI merasakan kegembiraan dengan adanya kontrak mandiri. Kemenangan kecil itu diambil kembali oleh 13 syarat tersebut. Akhirnya banyak BMI memilih kembali menggunakan agen untuk mendapatkan kontrak kerja.
Pada tahun 2008 kontrak mandiri kembali dibekukan oleh KONJEN Teguh Wardoyo. Pembekuan kontrak mandiri itu dibarengi dengan aturan sistem online yang mengatur BMI tidak boleh pindah agen sebelum dua tahun menyelesaikan kontrak. Disinilah perampasan upah semakin menjadi karena pelarangan kontrak mandiri itu. Banyak BMI yang terpaksa harus membayar agen berkali lipat ketika dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK/interminate) dan tidak bisa pindah ke agen penyalur lain. Banyak BMI memilih menjadi ilegal karena overcharging, banyak BMI yang memilih bekerja ilegal di Macau dengan resiko yang sangat tinggi, bahkan menjadi target sindikat penjualan narkoba.
Gema tuntutan kontrak mandiri dan permasalahan BMI lainnya terus dikobarkan, apalagi makin banyak organisasi dan aliansi bermunculan. Istilah kontrak mandiri menjadi populer dan hal ini adalah satu kemenangan di tingkat akar rumput. Tuntutan kontrak mandiri selalu menjadi tuntutan utama di setiap aksi, baik lokal maupun internasional. Hingga pada akhirnya pada tanggal 14 Desesmber tahun 2016 KJRI mengumumkan kontrak mandiri diberlakukan kembali untuk BMI yang memperpanjang kontrak dengan satu majikan.
Keberhasilan perjuangan kontrak mandiri menjadi bukti, bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia. Meski hasilnya masih jauh dari tuntutan yang seharusnya didapat. Pemerintah memberlakukan kontrak mandiri ini dengan setengah hati, karena yang boleh melakukan proses kontrak mandiri hanyalah BMI yang memperpanjang kontraknya dengan majikan yang sama. Sementara BMI yang pindah majikan dan yang baru datang dari negari asal, ia harus tetap menggunakan jasa agen penyalur dan PJTKI. Ini artinya, BMI tetap saja pada kondisi tidak bisa lepas dari praktek overcharging.
Sikap setengah hati pemerintah kepada BMI adalah cermin bahwa pemerintah masih berpihak kepada PJTKI maupun agency ( pemodal ). Sikap ini melahirkan perbudakan hutang bagi buruh migran di negara penempatan melalui tingginya biaya penempatan yang masih diberlakukan kepada BMI pendatang baru, karena masih harus menggunakan PJTKI dan agen untuk pengurusan proses kontraknya. Jadi kemenangan kontrak mandiri tidak akan ada artinya tanpa memberlakukan kontrak mandiri kepada semua BMI.
Buruh migran harus berorganisasi untuk melawan semua ini. Keberhasilan di atas adalah keberhasilan yang dilakukan secara terorganisir dan dengan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan BMI yang selama ini sengaja dibuat bodoh oleh penguasa. Kondisi kerja yang harus siap siaga dan tinggal di rumah majikan selama 24 jam dalam satu minggu, adalah salah satu proses yang membuat BMI terus dibodohi. Kami akan terus berjuang sampai menang!**