Solidaritas.net, Jakarta- Peranan negara dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran dinilai lemah. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati mencapai ratusan, bahkan sejumlah buruh migran Indonesia yang telah dieksekusi mati di luar negeri.

Sebanyak 228 buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negeri terancam hukuman mati, 37 di antaranya berada di Arab Saudi. Hal ini mencerminkan bahwa negara belum hadir untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran yang dililit kasus hukuman mati.
Dilansir dari journoliberta.com, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto, saat ditemui di Kantor Dewan Pimpinan Nasional (DPN) SBMI di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, pada bulan April lalu memastikan bahwa Negara belum hadir dalam konteks bantuan hukum dan diplomasi.
Ia juga mengatakan bahwa selama ini perlindungan terhadap buruh migran diserahkan kepada pihak swasta adalah salah karena menyebabkan berkurangnya upaya advokasi terhadap pekerja yang terkena kasus hukuman mati.
“Mustahil membebani kewajiban melindungi buruh kepada pihak yang orientasinya keuntungan, itu intinya negara kita lepas tanggungjawab,” katanya.
Diplomasi Indonesia dengan negara lain juga dinilai lemah. Hal tersebut dibuktikan dengan kurangnya peran pemerintah dalam kasus Siti Zaenab (47), WNI yang dieksekusi mati oleh Arab Saudi pada Selasa 14 April 2015 lalu.
“Dalam konteks Zaenab, berbeda dengan Gus Dur, Jokowi melakukan dua upaya tetapi hanya berbentuk surat, ini kan cara diplomasi yang tidak kuat,” kata Hari.
Senada dengan Hari, Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Rudi HB Daman saat ditemui awak media journoliberta.com pada peringatan May Day lalu menjelaskan, harus ada langkah konkret dalam melindungi buruh migran, salah satunya adalah mencabut UU Nomor 39 tahun 2004.
“UU Nomor 39 tahun 2004 hanya memberikan banyak penempatan dan pengaturan, tetapi tidak ada perlindungan. Untuk itu harus diganti dengan UU yang memberikan perlindungan terhadap buruh migran, dan harus mengacu pada konvensi PBB tahun 1990,”