Persatuan dan Perjuangan Politik Buruh

persatuan buruh
persatuan buruh
Foto ilustrasi

Sebagian orang mungkin berpikir untuk membangun serikat buruh di dalam perusahaan saja dan mengisolir diri dari gerakan buruh di luar dirinya. Pertimbangan yang sering diambil adalah menghindari konflik dengan pengusaha dan tidak mau terlibat dengan dinamika gerakan buruh yang menguras energi. Sekadar menunggu orang lain berusaha dan menikmati hasil, adalah langkah yang dianggap aman dan cerdas. Walau sebenarnya watak seperti ini memiliki nama lain yang lebih tepat, yakni pragmatis yang dapat mengarah pada perilaku-perilaku oportunistik.

Memang, dalam membangun serikat, terdapat karakter atau watak yang perlu diperhatikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan karakter sebagai “sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.” Dalam uraian kali ini, akan dibahas dua karakter penting yang perlu dimiliki oleh serikat buruh, yakni bersatu dan berpolitik.

Bersatu

Pertama, nyaris tidak mungkin serikat buruh terisolir atau mengisolir dirinya dari gerakan buruh. Serikat buruh pada umumnya melakukan hubungan-hubungan keluar atau bergabung dengan organisasi atau gerakan buruh yang berada di luar perusahaan atau di luar dirinya.

Hal ini terkait dengan alat utama buruh dalam menghimpun kekuatannya adalah persatuan yang muncul dari kebutuhan nyata (objektif) dan tak terhindarkan. Buruh adalah entitas yang tidak memiliki alat-alat produksi, namun merupakan produsen sebenarnya yang memproduksi nilai lebih dan profit untuk pemilik modal. Tanpa buruh, pabrik hanyalah rumah hantu dan mesin-mesin sekadar barang rongsokan.

Karena seluruh bangunan masyarakat, baik ekonomi, pendidikan, media maupun kekuasaan politik, dikondisikan untuk membenarkan eksploitasi terhadap buruh, termasuk dengan membayar upah sekecil-kecilnya. Biasanya, upah buruh hanyalah porsi yang jauh lebih kecil dari keseluruhan hasil-hasil produksi. Dalam meningkatkan daya tawar untuk mendapatkan hak-hak atau bagian yang lebih besar dari hasil kerjanya demi kelangsungan hidupnya, buruh harus mengandalkan kekuatannya sendiri.

Kelas buruh terhubung dalam kerja produksi barang dan jasa-jasa, sekalipun buruh bekerja pada bagiannya masing-masing (spesialisasi). Tanpa satu bagian, bagian yang lain tidak mungkin atau kesulitan untuk berjalan. Meskipun seorang buruh dapat berpikir bekerja hanya demi dirinya sendiri, tetapi pekerjaan buruh sebagai kolektif terhubung dalam rantai produksi raksasa. Hal ini juga berlaku dengan buruh lain di luar perusahaan atau pabrik dalam satu rantai produksi yang sama. Contohnya: buruh pembuat lampu mobil, terhubung dengan kerja buruh lain yang membuat komponen kaca mobil, dan terhubung juga dengan buruh pembuat pabrik mobil.

Tidak heran jika karakter persatuan gerakan buruh mengambil bentuk persatuan internasional. Karakter gerakan buruh adalah internasionalis yang berbentuk afiliasi-afiliasi internasional, mengikuti karakter kapital yang ekspansif ke seluruh dunia baik dalam rantai pasokan maupun dikuasai oleh pemilik yang sama.

Baca juga: Kelemahan Serikat Pekerja di Tingkat Perusahaan

Makanya, semakin tidak mungkin membangun serikat hanya dalam satu perusahaan saja. Persatuan dan solidaritas bukan sebuah seruan moral, melainkan lahir dari kebutuhan, mengikuti hubungan-hubungan yang dikembangkan oleh kapital dalam rantai produksi global dan kepemilikan korporasi. Raksasa kapital mempengaruhi kebijakan dunia dan kebijakan berbagai negara secara terstruktur dalam sistematis. Sehingga mau tak mau, dalam memperkuat dirinya berhadapan dengan kapital yang sangat kuat ini, maka buruh juga harus mengembangkan jaringan-jaringan yang internasionalistik.

Persatuan itu sendiri memiliki landasan kesamaan program, metode dan cara kerja serta tidak dapat dipaksakan satu sama lain. Hal ini menjelaskan mengapa ada berbagai wadah persatuan serikat yang berbeda-beda satu sama lain dalam program dan metodenya.

Berpolitik

Kedua, hak-hak buruh sangat bergantung pada kebijakan dan keputusan politik, sehingga perjuangan serikat buruh juga dengan sendirinya harus bersifat politik. Sekali lagi, hal ini bukan sekadar jargon, tetapi memiliki penjelasan realistis di mana kebijakan-kebijakan politik menentukan hak-hak buruh. Buruh telah menyadari hal ini dengan mengingat contoh kecil saja, setiap tahun kebijakan kenaikan upah minimum ditentukan oleh keputusan pemerintah.

Sebagai kelas tak bermilik dan penciptaan pengangguran dalam skala besar oleh kapitalisme, daya tawar buruh kebanyakan lemah ketika memasuki pasar tenaga kerja, khususnya bagi buruh-buruh operator produksi atau pekerja kerah biru. Negosiasi individual nyaris tidak mungkin dalam situasi seperti ini, sehingga dibutuhkan proteksi dari negara melalui kebijakan dan keputusan politik.

Keputusan politik dapat memperkuat upah buruh atau dapat memperlemah. Sebagai contoh, belakangan ini pemerintah menghilangkan penentuan upah berdasarkan harga atas komponen hidup layak. Hal ini dilakukan dengan mengesahkan PP Pengupahan pada tahun 2015 dan Omnibus Law pada 2020. Karena komposisi pejabat negara yang berkuasa di parlemen hampir seluruhnya adalah perwakilan pengusaha atau pengusaha itu sendiri.

Itulah kenapa setiap tahunnya buruh melakukan aksi-aksi dalam menuntut kenaikan upah minimum, yakni untuk mendorong agar pemerintah menaikkan kesejahteraan buruh. Perjuangan ini masih sebatas berusaha mempengaruhi kebijakan politik negara, belum sampai ikut menentukan kebijakan-kebijakan politik karena belum ada wakil kelas buruh yang sesungguhnya yang berada di dalam kekuasaan.

Gerakan buruh yang semakin berkembang biasanya akan memasuki gelanggang politik untuk ikut merumuskan kebijakan politik yang menguntungkan buruh dan golongan rakyat yang awalnya sama-sama mengalami eksploitasi dan represi. Hal ini sudah banyak terjadi di Eropa maupun Amerika Latin di mana kelas buruhnya telah mampu membangun partai sendiri, seperti partai buruh atau partai rakyat. Kelas buruh membuat program-program dan usaha-usaha berpolitik, hingga mampu menempatkan wakil-wakilnya di parlemen dan berbagai jabatan publik.

Dengan demikian, serikat buruh yang cenderung mengisolir diri hanya akan mengembangkan karakter cupet, kebanyakan diisi pengurus pro pengusaha (oportunis) dan tidak mengembangkan solidaritas yang luas.

Tinggalkan Balasan