Pertamina Langgar Hak Ekonomi Buruh AMT

Mogok kerja AMT (Foto: Nuratmo)

Jakarta – Sesuai pemberitahuan, mogok kerja Awak Mobil Tangki (AMT)  akan dilaksanakan selama satu minggu. Namun sampai hari kelima mogok kerja itu dilakukan, perusahaan belum memenuhi tuntutan AMT, Sabtu (5/11).

“Aksi kita ini satu minggu, sampai hari kelima ini belum ada itikad baik dari manajemen PT Pertamina Patra Niaga,” tutur koordinator lapangan mogok kerja, Wadi Atmawijaya, saat diwawancarai Solidaritas.net pada hari ke lima pemogokan.

Pihak Sudinaker sendiri telah mengeluarkan nota pemeriksaan yang mendukung tuntutan buruh menjadi karyawan tetap. Mogok kerja ini juga sudah dimediasi oleh aparat penegak hukum seperti Polres, Polda dan Kementerian.  Hingga mediasi kedua yang dihadiri oleh Kabag Intelkam Mabes Polri dan kementerian, belum juga ada titik temu.

Menurut AMT, tuntutan yang harus direalisasikan saat ini adalah:
1. Angkat status AMT dari PKWT menjadi PKWTT
2. Ubah sistem pengupahan dengan sistem kerja 8 jam perhari, selebihnya dibayar lembur
3. Pekerjakan kembali AMT yang dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak
4. Bayar upah lembur

Sementara 16 tuntutan lainnya, kata Wadi, akan dinegosiasikan untuk dipenuhi selanjutnya. Dia juga menegaskan, buruh akan berhenti melakukan mogok kerja jika salah satu tuntutannya sudah dipenuhi.

AMT adalah para pekerja PT Pertamina Patra Niaga yang dipekerjakan dengan status kontrak melebihi ketentuan pasal 59 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Mereka juga dipekerjakan lebih dari 8 jam kerja tanpa memperoleh upah lembur.

Selain itu, sudah selayaknya jika pekerja mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik dari Pertamina yang membukukan laba bersih sebesar 1,83 miliar dollar AS pada semester I 2016. Keuntungan tersebut diperoleh dari efisiensi dari hulu ke hilir, kata Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro.

Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya memberikan contoh dalam menjalankan peraturan perundang-undangan dan kondisi kerja. Kondisi yang dirasakan pekerja tidak saja tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, tetapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM), khususnya hak-hak ekonomi.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005 melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Pasal 7 kovenan tersebut mengatakan: “Negara mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan.”

Tinggalkan Balasan