Bandung- Sehubungan dengan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Jawa Barat tahun 2017, Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat mengundang segenap anggota dewan pengupahan untuk menghadiri rapat pleno di Markas Kodam III/Siliwangi TNI Angkatan Darat pada 21 November 2016.
Foto ilustrasi: buruh melawan kebangkitan militerisme. Sumber: LBH Jakarta. |
Undangan rapat pleno tersebut menuai protes dari kalangan buruh. Dengan memasukkan militer ke dalam masalah buruh, pemerintah dinilai melakukan kebiasaan yang terjadi pada zaman Orde Baru (Orba).
“Buruh minta tempat yang netral. Ini, kan, perundingan antara buruh, pengusaha dan pemerintah, kenapa harus di markas TNI?” tutur salah seorang anggota FSPEK KASBI Karawang, Gopur.
Senada dengan Gopur, menurut pengurus Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh, Ata, hal itu merupakan bentuk intervensi TNI ke ranah sipil/perburuhan sekaligus bentuk intimidasi yang sangat vulgar terhadap buruh.
Ata berharap, agar dewan pengupahan dari buruh tidak menyepakati hal itu.
“Dewan pengupahan dari buruh berhak menolak mengikuti rapat pleno di markas TNI dan meminta perundingan diadakan di tempat lain yang lebih netral,” katanya.
Dia juga mempertanyakan sikap Wakil Gubernur yang sampai meneteskan airmata di mobil komando pada aksi 4 November saat meminta agar Ahok ditahan, padahal hal itu tidak ada kaitannya dengan kepentingan dan kebutuhan penduduk Jawa Barat. Sementara itu, saat warga Jabar memiliki kepentingan justru tidak pernah ditemui.
“Ketika kaum buruh mau menyampaikan aspirasi di kantor gubernur tidak pernah ditemui , ini malah rapat dewan pengupahan Provinsi di markas TNI. Aneh,” terangnya
Ini adalah kali pertamanya rapat pleno penetapan upah dilakukan di Markas TNI. Pada tahun sebelum-sebelumnya, rapat dilakukan di Disnakertrans.
Undangan Depekab berunding di markas TNI. (Klik gambar untuk memperbesar) |