Perusahaan pemasok tier 2 Toyota, PT. Nanbu Plastics Indonesia melayangkan gugatan perselisihan melawan delapan buruh kontraknya, termasuk di antaranya korban kecelakaan kerja. Gugatan perselisihan dilayangkan oleh Richard Sinanu selaku manajer PT. Nanbu Plastics Indonesia di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Bandung.
Salah seorang buruh yang digugat adalah buruh perempuan korban kecelakaan kerja, Atika, yang mengalami kecelakaan kerja pada 26 September 2016. Kecelakaan kerja terjadi saat Atika yang sedang bekerja lembur menjalankan mesin press. Setengah ruas jari Atika terpotong dan tidak bisa disambung lagi.
Dalam gugatannya, Nanbu menolak menjalankan ajuran Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi Nomor 565/3069/DISNAKER tertanggal 25 Mei 2018 yang menyatakan hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT/permanen).
Nanbu menuntut agar Majelis Hakim PHI Bandung menyatakan para buruh bukan merupakan karyawan perusahaan sejak berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Tidak hanya itu, perusahaan juga menuntut agar buruh dihukum membayar semua biaya perkara yang timbul di pengadilan.
Jadi Korban Dua Kali
Setelah mengalami kecelakaan kerja pada tahun 2016, Atika mengalami kesedihan yang mendalam. Saat dokter memberitahu jarinya tidak bisa disambung lagi, dia merasa terpukul. ANS menyadari kesulitan untuk mencari pekerjaan di tempat lain dengan kondisinya sekarang. Berbekal pengetahuan atas Pasal 153 Ayat (1) huruf (j) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Atika berusaha mengadvokasi masalahnya dengan melakukan perundingan pada awal 2017.
Didampingi oleh Serikat Buruh Bumi Manusia PT Nanbu Plastics Indonesia (SEBUMI PT. NPI), Atika juga meminta perusahaan bertanggung jawab atas lukanya yang kembali kambuh pada Januari 2018. Luka di jari Atika kembali mengeluarkan darah dan nanah pada Desember 2017. Kemudian pada Januari 2018, Atika kehilangan pekerjaan setelah kontrak kerjanya dinyatakan berakhir.
Sebetulnya, UU Ketenagakerjaan melarang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap korban kecelakaan kerja. Selain itu, Atika meyakini hubungan kerja PKWT menyalahi ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan Permenaker 100/2004 tentang Ketentuan PKWT. Secara hukum, Atika dan rekan-rekannya seharusnya diangkat menjadi karyawan tetap. Apalagi pada tanggal 25 Mei 2018, Disnaker Kabupaten Bekasi mengeluarkan anjuran yang sejalan dengan tuntutan buruh.
Perusahaan menolak bertanggung jawab atas nasib Atika sehingga pihak serikat terpaksa melakukan serangkaian protes dan aksi ke Toyota Indonesia di Sunter, Jakarta Utara pada Maret sampai Mei 2018. Nanbu bersedia menanggung biaya pengobatan, termasuk fisioterapi, baru pada Juli 2017.
Karena pengusaha menggugat buruh di pengadilan, beban buruh semakin bertambah. Atika dan rekan-rekan harus menjawab gugatan pengusaha Nanbu di PHI Bandung. Buruh telah menyiapkan 16 halaman jawaban atas gugatan pengusaha dan menghadiri sidang pada tanggal 29 September 2018.
Pingback: PT KANSAI PAINT INDONESIA – Solidaritas.net