Pesan dari Manusia Kardus di Momen Hari Guru

Solidaritas.net, Nasional – Jika biasanya demonstrasi dilakukan oleh sekelompok orang, maka Manusia Kardus ini melakukan aksi seorang diri di Bundaran HI, Kamis (28/11), masih dalam momen Hari Guru yang jatuh setiap 25 November. Ternyata “Manusia Kardus” ini adalah seorang guru bantu bernama Samsudin yang menyampaikan keprihatinannya mengenai nasib pendidikan Indonesia.
Di saat buruh sedang mengepung kantor Gubernur DKI Jakarta, Samsudin membagi-bagikan siaran persnya ke media dan pengguna jalan. Aksinya cukup menarik perhatian karena ia mengenakan pakaian dari Kardus yang penuh berisi tuntutan. Samsudin juga menyamakan nasib guru dengan buruh.
Untuk bisa sampai ke Jakarta, ia menempuh jarak sekitar 200 km dari Indramayu dengan berjalan kaki. Sehari-harinya ia menjadi guru bantu di sebuah sekolah dasar negeri (SDN) Indramayu dan juga mendirikan Rumah Baca bernama ‘Bumi Pertiwi’.
Bagi Samsudin, Kardus adalah cerminan dari masyarakat Indramayu dan Indonesia yang secara umum terlihat bagus, kokoh dan pintar di luarnya saja. Namun sebenarnya menyimpan kerapuhan, kekosongan, kebohongan dan ketidakpedulian. Persis seperti Kardus. Manusia Kardus dilahirkan dari pendidikan yang tidak melahirkan generasi yang cerdas, kritis dan berkarakter sehingga hanya diam dan gampang diperalat.
Beberapa poin penting yang Samsudin muat dalam Siaran Persnya:
Pertama, pendidikan dimanfaatkan sebagai alat kepentingan politik praktis di mana murid kerap diberikan kuesioner kampanye Pemilukada oleh gurunya. Bahkan, kepala sekolah menjadi juru kampanye yang memasilitasi calon legislatif datang ke sekolah-sekolah untuk menjaring pemilih pemula.
Kedua, sertifikasi guru tidak memajukan kemampuan kritis dan emosional murid dan guru. Sertifikasi adalah standarisasi yang salah kaprah yang hanya menghasilkan guru yang lebih mengutamakan laporan-laporan dari seminar ketimbang mengembangkan kemampuan siswa. Samsudin juga mempermasalahkan standar kelulusan yang bersifat kejam dan hanya mengedepankan aspek kognitif murid, sementara aspek emosional dan keterampilan murid diabaikan begitu saja.
Ketiga, otonomi daerah di Indramayu tidak berguna bagi rakyat. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tumbuh subur. Banyak pejabat yang diangkat tidak dengan ujian kelayakan dan kepatutan secara transparan.
Akhirnya, Samsudin menghimbau kepada masyarakat agar memedulikan nasib pendidikan Indonesia agar manusia Indonesia berhenti menjadi kardus. (Rn)

Tinggalkan Balasan