Solidaritas.net, Semarang – Sainah, seorang istri dari buruh PT Kebon Agung PG Trangkil menuntut perusahaan atas kekurangan biaya santunan kematian suaminya, Joyo Sudadi. Almarhum yang telah bekerja selama 24 tahun di PT Kebon Agung PG Trangkil dengan status buruh harian borongan lepas, meninggal pada tanggal 9 November 2011 dalam kecelakaan saat sepulang bekerja.
Atas meninggalnya Joyo Sudadi, PT Kebon Agung PG Trangkil, telah memberikan santunan kematian sebesar 10 juta rupiah dan pesangon sebesar 12 juta rupiah kepada istri almarhum, sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di perusahaan tersebut. Namun santunan yang diberikan oleh perusahaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan oleh karena itu Sainah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang.
Dalam gugatan, Sainah menyatakan bahwa status hubungan kerja antara Joyo Sudadi harus berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sesuai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Sehingga ia menuntut kekurangan pembayaran santunan kematian berdasarkan UU Jamsostek, pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) dan pesangon sesuai pasal 166 dalam UU Ketenagakerjaan.
Dalam persidangan pengusaha PT Kebon Agung PG Trangkil mengajukan keberatan atas gugatan Sainah. Perusahaan menyatakan pemberian santunan dan pesangon sebesar 22 juta rupiah telah sesuai dengan PKB, sebab status hubungan kerja dengan Joyo Sudadi yang diakui pihak perusahaan adalah perjanjian kerja harian lepas sejak tahun 2002.
Setelah memeriksa perkara, Majelis Hakim PHI Semarang, melalui putusan nomor 40/G/2013/PHI.SMG tertanggal 20 Maret 2014, mengabulkan sebagian gugatan Sainah. PT Kebon Agung PG Trangkil dihukum untuk membayar biaya kekurangan santunan kematian sebesar 4,2 juta rupiah, kekurangan pesangon sebesar 13,5 juta rupiah, JHT serta Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar 1,4 juta rupiah.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim PHI Semarang, menyatakan bahwa hubungan kerja antara almarhum dengan perusahaan adalah PKWTT dengan masa kerja terhitung sejak tahun 2002. Dan perhitungan santunan kematian yang harus diberikan kepada ahli waris almarhum, dihitung bukan berdasarkan aturan santunan kematian akibat kecelakaan kerja.
Pertimbangan yang patut dipertanyakan, sebab berdasarkan bukti di persidangan, almarhum tercatat telah bekerja di perusahaan sejak tahun 1987 dan meninggal akibat kecelakaan yang termasuk dalam kategori kecelakaan kerja. Sehingga semestinya dinyatakan hubungan kerja antara almarhum dengan perusahaan adalah PKWTT dengan masa kerja terhitung sejak tahun 1987. Demikian pula santunan kematian yang diberikan semestinya sesuai aturan santuan kematian akibat kecelakaan kerja dalam UU Jamsostek.
Keberatan dengan putusan PHI Semarang yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan maupun UU Jamsostek, kedua belah pihak, baik Sainah maupun PT Kebon Agung PG Trangkil, mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Namun melalui putusan nomor 431 K/Pdt.Sus-PHI/2014, tertanggal 9 September 2014, menolak permohonan kasasi yang diajukan kedua belah pihak dan menyatakan PHI Semarang telah benar dalam memutus perkara. (AY/RDN)
Sumber website putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Pingback: PT NYONYA MENEER – Solidaritas.net