PHK Sebelum Berakhirnya PKWT

Foto ilustrasi (kredit: www.panturanews.com)

Solidaritas.net – Seorang buruh PT SGS dengan inisial D, diputuskan hubungan kerja sebelum jangka waktu kontraknya (perjanjian kerja waktu tertentu) berakhir. D mendapatkan ganti rugi sebesar 3 bulan upah, sesuai dengan jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu. Bagaimana ketentuan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum berakhirnya PKWT?

Sebagai permulaan, perlu diperiksa terlebih dahulu apakah penerapan PKWT telah sesuai dengan ketentuan pada pasal 59 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Pasal 59 mengatur ketentuan sebagai berikut:

(1)    Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut sifat dan jenis atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a.       pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b.      pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.       pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.      pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan.

(2)    Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3)    Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbarui;

(4)    Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5)    Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6)    Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

(7)    Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8)    Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Apabila penerapan PKWT telah sesuai dengan ketentuan di atas, maka ganti rugi yang wajib diberikan oleh pengusaha mengacu pada ketentuan pasal 62 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Namun jika penerapan PKWT bertentangan atau melanggar ketentuan dalam Pasal 59 di atas, maka demi hukum, status PKWT berubah menjadi PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu). Sehingga pengusaha tidak diperbolehkan melakukan PHK sebelum adanya putusan hukum pengadilan yang bersifat tetap.

Pengusaha dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Pekerja/buruh terbukti melakukan tindak pidana yang dibuktikan dengan adanya putusan pidana, sesuai ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 012/PUU-1/2003 dan Surat Edaran Menakertrans nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005.
  2. Pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib sehingga setelah 6 bulan tidak dapat melaksanakan pekerjaannya, sesuai ketentuan pada Pasal 160 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  3. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut. Hal ini diatur pada Pasal 161 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  4. Pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja akibat terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan, sesuai ketentuan pada Pasal 163 ayat (1) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  5. Pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan akibat terjadi perubahan status, penggabungan atau peleburan perusahaan, sesuai ketentuan pada Pasal 163 ayat (2) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  6. Perusahaan tutup (permanen, bukan menghentikan sementara operasionalnya) sesuai ketentuan pada Pasal 164 dan 165 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  7. Pekerja/buruh mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan dan telah dilakukan pemanggilan secara patut sebanyak 2 kali, sesuai ketentuan pada Pasal 168 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  8. Pekerja/buruh mengalami sakit bekepanjangan, cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan, sesuai ketentuan pada Pasal 172 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Meski telah ditentukan dalam aturan ketenagakerjaan tentang prosedur PHK, namun seharusnya kaum buruh tetap menolak terjadinya PHK. Sebab PHK berarti hilangnya jaminan atas pendapatan, sehingga semakin banyak PHK akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat secara keseluruhan. Dan penurunan daya beli inilah yang justru menjadi penyebab terjadinya krisis. (Baca PHK Massal : Bencana Bagi Pengusaha (Modal)).

Tidak cukup hanya perjuangan di tingkat pabrik, tetapi juga melancarkan perjuangan politik untuk merubah kebijakan dan Undang-undang. Sebab pada dasarnya aturan ketenagakerjaan yang ada bukan bertujuan melindungi kaum buruh dari PHK, melainkan justru memberikan jalan untuk melakukan PHK.

Contoh paling jelas dapat dilihat dari terbitnya Surat Edaran Menakertrans nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, yang memperbolehkan pengusaha melakukan PHK dalam kondisi mendesak, tanpa ada penjelasan lebih lanjut atas apa yang disebut sebagai alasan mendesak tersebut.

Tinggalkan Balasan