Solidaritas.net- Sejarah panjang telah mencatat bahwa pada 136 tahun silam di Jepara tepatnya 21 April 1879 lahir seorang putri berdarah ningrat bernama R.A Kartini putri, anak Bupati Jepara, Sosroningrat dan isteri pertamanya, Ngasirah. Pada tanggal kelahirannya ini sering diperingati dengan perayaan yang meniru sosok Kartini hanya dari penampilan fisiknya belaka, seperti berkebaya dan berkonde.
Kartini hidup dalam lingkungan keluarga Jawa yang masih menjunjung tinggi budaya feodalisme. Budaya yang pada saat itu begitu mengagung-agungkan penghormatan. Hidup di lingkungan rumah mewah justru membuatnya merasa berada didalam ‘penjara’.Ia ingin sekali melanjutkan sekolah ke HBS, bahkan ke negeri Belanda seperti abang-abangnya.
Kartini yang bersekolah di ELS (Europese Lagere School) harus mengakhiri segala keinginanya untuk mengenyam bangku pendidikan tinggi. Itu karena dalam adatnya diatur apabila perempuan telah berumur 12 tahun, maka saat itu pula perempuan sudah pantas dipingit untuk menuju pernikahan. Tidak boleh keluar rumah apabila tidak bersama suami, bahkan perempuan dipaksa menerima poligami.
Selama dipingit, Kartini rajin membaca buku dan majalah Hindia Belanda yang diberikan oleh abang-abangnya. Ia pun menuliskan pikiran-pikirannya. Dalam tulisannya, ia berkeluh kesah tentang kaumnya yang diposisikan sebagai makhluk begitu lemah dan harus menerima kodrat yang ditentukan oleh masyarakatnya. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa sahabatnya di negeri Belanda.
Dalam surat-suratnya Ia bercerita tentang kehidupan pribumi Hindia Belanda saat itu.
Melalui surat-surat tersebut diketahui buah pikiran Kartini. Bukan hanya persoalan emansipasi wanita tetapi Ia juga berbicara tentang ketertindasan masyarakat Hindia Belanda. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja menyebut Kartini sebagai penggagas Indonesia merdeka. Gagasannya begitu maju, meski secara fisik terpenjara oleh adat-istiadat.
Menurut Kartini, pribumi saat itu dianggap manusia paling hina, primitif bahkan rendah sedangkan orang-orang Eropa datang dan merampas hingga menjadi kaya dari Hindia Belanda. Inilah yang menjadi cita-citanya, bukan hanya memajukan kaumnya melalui pendidikan tetapi juga mebebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan.
Seperti Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901:
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi.”
Kartini dijodohkan dan menikah dengan Bupati Rembang Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Sang bupati yang telah memiliki tiga isteri ini mengerti keinginan Kartini dan mengizinkannya membuka sekolah putri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Saat melahirkan anak pertamanya, 13 September 1904, Kartini meninggal empat hari kemudian. Anaknya diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini wafat di usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.