Bisa jadi kaum buruh generasi Orde Baru dan Orde Reformasi tak banyak mengenal istilah “poenale sanctie” dan “ koeli ordonantie”. Sebabnya, tak lepas dari Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang mengarahkan terwujudnya “harmonisasi” antara buruh dengan pengusaha. Melalui berbagai macam cara, yakni: penghancuran serikat-serikat buruh menjadi serikat buruh tunggal, pembakaran dokumentasi-dokumentasi gerakan buruh dan berbagai literatur sejarah, hingga mengubah istilah “buruh” menjadi “pekerja” atau “karyawan” dan “karyawati”. Paska reformasi pun tak banyak serikat-serikat buruh yang coba menggali kembali akar sejarah gerakan buruh Indonesia sebagai dasar pijakan perjuangan mereka untuk masa kini.
Kuli Kontrak di Jaman Kolonial. Sumber: Santijehannanda.com |
Padahal, “Poelane Sanctie” dan “Koeli Ordonantie” punya arti penting bagi awal mula pembangunan serikat dan gerakan buruh di negeri ini pada saat masih bernama Hindia Belanda. Bentuk konkret nan kejam dari penindasan kapitalisme kolonial Belanda pada lapangan perburuhan ada pada praktek sistem koeli ordonantie ini.
Apa yang kita lihat bersama pada hari ini praktek pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, lembur tidak dibayar, upah yang rendah, merupakan bentuk penindasan terhadap buruh. Namun, penindasan terhadap buruh pada masa diberlakukannya sistem koeli ordonantie lebih keji lagi kadar penindasannya.
Perjuangan nasional untuk kemerdekaan dari kolonialisme Belanda pada 1945 serta perjuangan reformasi tahun 1998 berhasil membuat beberapa perubahan. Tapi baru secuil saja. Esensi penindasan terhadap buruh belum lenyap. Kadar dan bentuk penindasannya saja yang berubah.
Pemerintah Belanda mulai menjalankan sistem kapitalisme di Hindia Belanda (kini Indonesia) melalui pendirian perkebunan-perkebunan besar. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Inggris di India melalui membangun perusahaan-perusahaan untuk industri-industri dasar, misalnya pengolahan biji besi dan baja. Perbedaan terhadap konsep awal membangun sistem kapitalisme di negeri jajahan ini memiliki dampak panjang, baik dalam sistem perburuhan maupun situasi perekonomian hari ini.
Belanda melakukan perubahan dalam soal cara mengeksploitasi negeri jajahannya. Pada mulanya, Belanda menjalankan merkantilisme, melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mulai beroperasi sejak 1602. Namun karena banyaknya korupsi yang dilakukan oleh para petinggi VOC yang mengakibatkan kebangkrutan maskapai dagang ini serta setoran kepada Kerajaan Belanda semakin menurun, akhirnya VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Sebenarnya Prancis melalui Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels untuk Hindia Belanda yang berkuasa selama hampir tiga setengah tahun memberikan dasar bagi peralihan merkantilisme ke kapitalisme kolonial. Saat itu, Prancis menguasai Hindia Belanda setelah berhasil menguasai Belanda. Dasar peralihan itu dilakukan dengan pendirian Bank, pembukaan perkebunan-perkebunan, dan Jalan Raya Anyer – Panarukan—yang kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Daendels atau Jalan Raya Pos.
Akan tetapi, kekuasaan Perancis di Hindia Belanda tak berlangsung lama, hanya 11 tahun. Setelah Inggris berhasil mengalahkan pasukan Perancis di Buitenzorg yang saat ini bernama Bogor. Begitu pula Inggris, kekuasaannya hanya bertahan hampir lima tahun saja setelah terjadinya kesepakatan antara pemerintah Inggris dan Belanda untuk mengembalikan Hindia Belanda ke tangan Belanda.
Perkembangan kapitalisme perkebunan semakin memiliki landasan berkembang pada masa Gubernur Van Den Bosch pada tahun 1830. Bosch mengkogkretkan kebijakan Gubernur Raffles (1811-1816) yang membuat kebijakan pengambilan tanah oleh negara. Oleh Bosch, penguasaan tanah oleh negara tersebut dilanjutkan dengan kewajiban menanam tanaman yang sedang populer di pasar eropa atau dikenal sebagai cultuurstelsel, di mana petani yang menanam diwajibkan membayar sewa tanah (landrente), atau pilihan lain, bekerja di ondermening (perkebunan) pemerintah Hindia Belanda. Sebagian besar kemudian memilih bekerja di perkebunan pemerintah Hindia Belanda, sebab beban membayar sewa tanah begitu berat.
Mereka yang bekerja di perkebunan-perkebunan itu kemudian di sebut kuli kontrak. Dalam perkembangannya, perusahaan perkebunan diperluas, tak hanya pemerintah yang bisa mengelola. Perusahaan-perusahaan swasta Eropa mendapatkan ijin sewa tanah (erfpacht) selama 75 tahun. Apalagi di Eropa permintaan pasar untuk komoditi tembakau, teh dan gula semakin tinggi. Pembukaan perkebunan ini pada akhirnya meluas hingga ke pulau Sumatera.
Hasilnya, semakin banyak kuli-kuli kontrak yang bekerja di perkebunan pemerintah maupun swasta. Para kuli kontrak ini bekerja dengan sangat keras, hingga diperbudak, demi memenuhi target pasokan komoditi tembakau, teh dan gula ke pasar Eropa. Mereka yang melarikan diri maka akan menerima hukuman cambuk bagi laki-laki atau bagi perempuan digosok kemaluannya dengan lada. Beberapa di antara mereka mengalami kematian. Hukuman ini dikenal sebagai poenale sanctie. Suatu praktek yang mirip dilakukan oleh kolonialis Eropa di Amerika Latin. Para kuli kontrak tak bisa memutuskan kontrak kerjanya. Pemilik perkebunan ibarat “tuan budak” yang memiliki “budaknya” hingga masa kontrak usai. Tujuan penghukuman menciptakan ketakutan agar produksi tidak tersendat.
Sistem koeli ordonantie kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Johan Wilhelm van Lansberge, pada 1880. Meskipun, praktek poenali sanctie telah berjalan jauh-jauh hari, seperti yang dilakukan Jacobus Nienhuys di Sumatera timur. Keputusan Lansberge hanya sebagai legalitas di hadapan hukum bahwa pemilik perkebunan memiliki hak melakukan penyiksaan, pengurungan, pencambukan tanpa melewati proses peradilan.
Perlawanan atas praktek poenale sanctie dan sistem koeli ordonantie ini terjadi secara di berbagai tempat. Sayang tak terorganisir dengan baik, karena belum ada atau belum mengenal konsep serikat.
Apa yang terjadi dari praktek poenali panctie adalah bentuk paling keji dari penindasan kapitalisme. Meski perlawanan kuli kontrak tersebut tidak segera tercapai atau baru tercapai setelah beberapa puluh tahun kemudian, namun, yang bisa kita pelajari ada dua hal: pertama, membiarkan ketakutan merajalela hanya akan berakibat penindasan akan berlangsung lebih lama; kedua, perlawanan yang baik adalah perlawanan yang diorganisasikan.
Hari ini, praktek sistem kontrak masih berlangsung. Dengan bentuk dan kadar penindasan yang berbeda. Berkat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tak dibolehkan lagi ada buruh yang dipenjara atau menjalani hukum fisik lainnya apabila menolak bekerja. Kondisi kerja lebih baik.
Namun esensi kerja kontrak itu sendiri masih tetaplah ada yang menjadikan buruh diperbudak dalam ketidakpastian kerja dan ketiadaan masa depan. Untuk mengubahnya, dengan tidak membiarkan atmosfer ketakutan menyebar pada diri kita masing-masing, lalu mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh yang mandiri.
Diam, hanya akan membuat penindasan semakin langgeng. ***
Penulis:
Surya – Aktivis Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI)