Polemik Hukum Acara PHI

Oleh: Asri Vidya Dewi, S.Si., S.H

Perjuangan di dalam pengadilan yang identik dengan ”kandang macan” atau mafia pengadilan dimana kekuasaan, jabatan dan uang mempunyai kekuasaan hanya membuat orang miskin tidak akan memperoleh keadilan.

suap hakim
Foto ilustrasi.

Berharap pada pemerintah pun juga tidak akan menghasilkan apa-apa. Begitu pula dalam proses pencarian keadilan dari penyidikan sampai persidangan, hak rakyat dirampas dan ditindas juga. Jadi, secara sistemik, diciptakan sistem yang menindas dan merampas hak-hak.

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)—sebagai “kuburan kaum buruh”—yang sering dijadikan jalan akhir bagi buruh demi mendapatkan keadilan dan kepastian hukum; yang memposisikan buruh dan pengusaha dalam keadaan seimbang, selalu dipersamakan oleh para hakim PHI sebagai sengketa perdata pada umumnya. Hal itu disebabkan karena, selain hukum acara yang mengatur peradilan hubungan industrial menggunakan hukum acara perdata (HIR), juga dikarenakan perspektif majelis hakim secara umum beranggapan bahwa sengketa antara buruh melawan pengusaha layaknya sengketa perkawinan, dimana posisi buruh dan pengusaha disamakan sebagai sebuah pasangan antara suami-istri.

Pengalaman selama bersidang di Pengadilan Hubungan Industrial, kerap kali hakim menyatakan dengan santai, “Jika salah satu pihak sudah tidak suka ya sudah bercerai saja, tinggal dibayarkan saja mut’ah dan iddahnya, tinggal dikompromikan saja nilainya”.

Lawrence M. Friedman menjelaskan ada tiga komponen dalam sistem hukum (atau biasa disebut Three Elemens of Legal System) yang menjadi faktor mempengaruhi penegakan hukum, yaitu komponen struktur, komponen substansi, dan komponen kultur atau budaya hukum. Ketiga komponen tersebut membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut dengan sistem.

Hubungan di antara ketiga komponen tersebut secara singkat dapat digambarkan dengan cara menjelaskan ketiga unsur dalam sistem hukum sebagai berikut: pertama, struktur diibaratkan sebagai mesin, dalam hal ini adalah pembuat Undang-undang atau peraturan (DPR, Pemerintah, Menteri, gubernur); kedua, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu (Undang-undang/peraturan; PP, KEPMEN, SK Gubernur dll); dan yang ketiga; kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan oleh aparatur hukum (jaksa, polisi, pengacara/advokat dan terutama adalah hakim). Karena, menurut Friedman, hakim menjadi kunci jawaban dari pertanyaan tentang kemanakah keadilan akan berpihak dalam sistem peradilan. Sebagaimana ungkapan populer yang menyatakan: “Berikan aku hakim yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk”.

Motto ini dimaknai betapa pentingnya kultur hukum, untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara agar, tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, ada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran.

Hakim diingatkan bahwa kata kunci pelaksanaan sistem peradilan lebih dominan berada di dalam kekuasaannya, bukan diletakkan pada produk hukumnya. Produk yuridisnya boleh saja kurang, kabur, dan bahkan cacat, tetapi mentalitas hakim dilarang cacat, tidak boleh lebih buruk dibandingkan kondisi produk hukumnya.

Hukum itu untuk manusia. Jadi, hukum untuk membahagiakan manusia, hukum untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Bukan manusia untuk hukum. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005).

Dalam PHI, Buruh dan Pengusaha Tidak Boleh Disetarakan

Hukum acara PHI yang memang tidak memiliki hukum acaranya sendiri kemudian menempatkan antara Penggugat dan Tergugat (Buruh dan Pengusaha atau Proletar dan Borjuis) menjadi “setara” sebagaimana Hukum Acara Perdata yang menempatkan Penggugat dan Tergugat (Buruh dan Pengusaha atau Proletar dan Borjuis) sebagai para pihak, dalam kenyataannya tidaklah demikian, relasi buruh dan pengusaha tidak pernah setara dan tidak dapat disetarakan karena hubungan keduanya mengandung watak anatagonisme kelas. Dengan demikian, bahwa sengketa di PHI adalah sengketa struktural, bukan sengketa perdata biasa.

Di situlah pengadilan (baca: hakim) menutup mata akan realita di atas dengan berlindung diri pada hukum acara perdata yang dipakai juga dalam PHI. Berkali-kali produk yuridis yang dibuat dan sudah terbilang memenuhi standar kelayakan belum mampu menunjukkan taringnya ketika berhadapan dengan pemilik modal dan kekuasaan. Kekuatan pemilik modal ini membuat aparat penegak hukum mengidap lesu darah, impoten, atau susut nyalinya.

Alih-alih melompati pagar ‘bukan sebatas corong Undang-undang’ untuk konsisten mengikuti norma hukum saja, hakim justru belum berani menerapkannya secara maksimal. Semisal: Korupsi. Dalam hal ini seharusnya aparat penegak hukum bisa menerapkan ancaman maksimal sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang hukuman maksimalnya adalah hukuman mati kepada koruptor (terdakwa). Nyatanya, hingga sekarang, rasanya belum ada aparat yang berani berlawan secara yuridis.

Kalau menjadi corong undang-undang saja belum bisa ditegakkan konsisten, maka akan berat sekali mengharapkan hakim berlawan secara intelektual yuridis dengan cara mengembangkan model penafsiran atau intepretasi hukum.

Hakim harus menggolongkan mana yang ditindas dan mana yang menindas, selain memiliki tujuan mempertanggungjawabkan kewenangan, juga menunjukkan bahwa dalam dirinya ada tekad (mentalitas) hingga pasang badan untuk melawan penindasan.

Mentalitas hakim memang masih menjadi virus utama yang membuat penegakan hukum rentan diserang, dikooptasi, dijinakkan, dan bahkan diamputasi oleh berbagai kekuatan yang berkoalisi dan berkolaborasi dengan kekuatan modal.

Hakim PHI hanya bertindak sebagai corong undang-undang, menempatkan diri bahwa hakim tidak dapat mengubah undang-undang, tidak mempertimbangkan apakah isi undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan realitas sosial dan rasa keadilan rakyat. Hakim selalu berfikiran bahwa apa kata undang-undang, itulah yang harus diberlakukan. Maka tidak heran jika muncul adagium “lex dura, sed tamen scripta” yang terjemahan bebasnya adalah “sekalipun undang-undang terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya dan harus dilaksanakan”.

Hakim Harus Berani Mambuat Tafsir Undang-undang Yang Menguntungkan Buruh/Rakyat Miskin
Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang kekuasaan Kehakiman Menegaskan “Bahwa Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat”.

Dalam penjelasannya ditegaskan: “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Itu berarti kalau ternyata isi undang-undang tidak cukup lengkap atau penerapan undang-undang tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan yang baru, maka hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut.

Untuk memenuhi rasa keadilan rakyat dalam praktek hukum dan yurisprudensi, hakim dapat menggunakan kekuasaanya untuk tidak menggunakan contra legem karena kekuasaan hakim adalah absolut dalam persidangan.

Karena absolut-nya, (demi keadilan rakyat) tindakan hakim dalam memutuskan seharusnya boleh digunakan untuk melanggar larangan yang ditentukan pasal dalam undang-undang dengan cara menyingkirkan penerapan pasal tersebut atau menyingkirkan prinsip lex certa .
Dengan begitu, hakim bisa melakukan langkah antisipatif meminimalisasi penolakan rakyat atas suatu putusan, untuk itu sebelum memutuskan suatu perkara, hakim harus menimbang agar memberikan keadilan bagi mayoritas rakyat yang dirugikan.

Kalau hakim memperkirakan putusannya itu bakal mengguncang bahkan melukai rasa keadilan rakyat dan karenanya ditolak oleh rakyat maka sebaiknya putusan itu diubah sebelum dibacakan di persidangan.

Pengadilan Hubungan Industrial merupakan bentuk nyata dari sebuah peradilan sengketa struktural jadi, anggapan adanya kesetaraan para pihak merupakan bentuk riil dari pandangan sempit dan kemalasan para hakim. Hukum itu bukan rutinitas mengetuk palu di gedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaanya. Yang dibutuhkan keadilan adalah keberanian tafsir atas undang-undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas hakim sebagai mata pencaharian di dalam sebuah gedung.

Tinggalkan Balasan