Solidaritas.net – Bila kita tengok sejarah, maka kita akan tahu mengapa kekuatan penindas tidak bisa sekadar ditaklukkan oleh KONSEP dan LOBBY, bahkan kekuatan hukum dan demokrasi yang belum sempurna (atau abal-abal) pun tidak bisa. Kekuatan penindas hanya bisa ditaklukkan oleh metode aksi massa, itu pun harus kekuatan aksi massa dengan kadar tertentu besaran dan siasatnya.
Hal yang menggembirakan adalah: metode aksi massa sudah diyakini oleh massa tertindas sebagai cara yang paling ampuh, dan kesadaran tersebut tak bisa ditarik atau dipukul mundur lagi, siapa pun yang mencoba mengekang kehendak massa tersebut–bahkan figur elite pimpinan massa yang paling dicintai massa (atau juga yang pandai mengibuli massa agar dicintai massa)–akan kehilangan pamornya (dan memang harus demikian, massa harus melepaskan kecintaannya pada figur elite pimpinan massa yang abal-abal); yang lebih menggembirakan lagi, massa mulai sadar bahwa aksi besar, unjuk rasa nasional, bukan lah atau berbeda dengan mogok nasional. Massa sudah paham mana metode menuntut yang tidak ampuh mana yang ampuh, mana metode menuntut yang tulen mana yang abal-abal, mana metode yang asli mana yang KW (palsu), mana militansi yang sejati, mana yang gadungan. Karena metode yang militan lah yang sanggup memenangkan tuntutan rakyat (termasuk kaum buruh). Itulah massa sadar. Dan kita harus berjuang di landasan massa sadar. (Baca juga: Mogok Nasional Diganti Unjuk Rasa Nasional, Bukan Kata Baru!)
Dan, mana mungkin berkehendak mempercepat perjuangan keadilan sosial tanpa konsentrasi kekuatan militan serta gagasan radikal bahwa musuh mendesak sekarang ini adalah sisa-sisa lama orde Baru, reformis gadungan, militer dan milisi reaksioner. Bila demikian, seperti tanpa landasan berpijak dan melangkah dalam berjuang. Mana mungkin perjuangan keadilan sosial tanpa demokrasi yang sepenuh-penuhnya, yang lebih sempurna. Karena perjuangan keadilan adalah: demokratisasi tenaga produktif (manusia dan alat-alat/sarana-sarana produksinya, sumber penghidupannya). Tapi tak apa, terutama dalam masa-masa awal, masih banyak yang tak sadar akan hal itu. Yang penting: yang sadar harus bekerja dengan demokratis dan profesional–akhli dan sepenuh jiwa-raganya.