PPRI Sulteng Serukan Lawan Kapitalisme, Militerisme dan Patriarki

Palu –  Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) Sulawesi Tengah memperingati Hari Perempuan Sedunia, Selasa (8/3/2016). Massa PPRI di Kota Palu dan Kabupaten Poso menggelar aksi dan kegiatan diskusi di masing-masing daerah merespon hari bersejarah bagi perjuangan kaum perempuan.

Aksi PPRI Kota Palu memperingati Hari Perempuan Sedunia,
8 Maret 2016. Foto: Gee.

Di Kota Palu, PPRI menggelar aksi di depan Anjungan
Nusantara Palu, sekitar pukul 15.00 WITA aksi tersebut dimulai. Pada aksinya
kali ini, PPRI Kota Palu mengangkat tema “Perempuan dan
Rakyat Bersatu Melawan Kapitalisme, Militerisme dan Budaya Patriarki” dengan tuntutan sebagai berikut:

  1. Menolak semua bentuk kekerasan seksual terhadap
    perempuan
  2. Hapuskan segala kebijakan yang mendiskriminasi perempuan,
    anak, kaum LGBT, difabel dll.
  3. Menuntut perpanjangan waktu haid dan melahirkan bagi
    buruh perempuan
  4. Kesetaraan upah bagi buruh perempuan.
  5. Naikkan kuota 50% untuk perempuan
  6. Kebebasan berekspresi bagi perempuan
  7. Berikan perlindungan sejati bagi buruh migran
  8. Tolak kriminalisasi perusahaan terhadap kawan-kawan
    buruh, yaitu Saiful, Dado, Mujiyo dll
  9. Tolak kriminalisasi terhadap 23 buruh, seorang
    mahasiswa, dan dua orang anggota LBH yang ditetapkan sebagai tersangka karena
    malakukan aksi tolak PP 78 pada 30 Oktober 2015
  10. Cabut
    UU anti demokrasi (UU Intelijen, UU Ormas, RUU Kamnas, RUU Komponen cadangan
    dll)
  11. Pendidikan
    dan kesehatan gratis bagi rakyat
  12. Nasionalisasi
    seluruh aset strategis di bawah kontrol rakyat untuk kesejahteraan rakyat
Berbeda dengan itu, di Poso
PPRI menggelar diskusi bersama mahasiswa. Kegiatan  diskusi itu di selenggarakan di Sekretariat Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso.
Pusat Perjuangan Mahasiswa
untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) yang tergabung dalam PPRI Kota
Poso
menjadi panitia. 
PPRI Kabupaten Poso. Foto: Koko

Diskusi ini dijadikan
wadah untuk membahas sejarah
gerakan perempuan dan  persoalan-persoalan perempuan lainnya.

“Bahwa persoalan-persoalan perempuan saat ini
tidak terlepas dari logika patriarki yang masih mendominasi dalam kepala
masyarakat, serta sistem kapitalisme yang dengan jahatnya mempertahankan logika
patriarki tersebut,” ujar salah seorang peserta diskusi yang juga aktivis
Pembebasan Poso, Rahma, dikutip
dari Koranmigran.com. (Ern)

***
Pernyataan Sikap Politik PPRI Sulawesi Tengah

Perempuan dan Rakyat Bersatu Melawan Kapitalisme, Militerisme dan Budaya Patriarki

Seseorang tidak di lahirkan sebagai perempuan, Tetapi menjadi perempuan: uraian kalimat tersebut tidak banyak yang memahami arti dan maknanya, bahwa seorang yang lahir sebagai perempuan dan hanya berbeda bentuk secara fisik dari laki-laki sudah mendapatkan perlakuan dari keluarga dan masyarakat dalam peran, tempat, fungsi dan posisi yang berbeda dengan laki-laki, sehingga sejak lahir seorang perempuan hanya mengetahui apa perannya, dimana tempatnya, bagaimana fungsinya dan untuk apa posisinya, yang kemudian melekat dalam pikiran dan hatinya untuk menganggap itu semua sebagai takdir dari seorang yang lahir sebagai perempuan.

Sudah berabad-abad kaum perempuan dijadikan mahkluk nomor dua di peradaban bumi ini setelah zaman komunal primtif yang tidak membeda-bedakan kedudukan kaum perempuan dan laki-laki. Berbeda dengan saat ini, tidak ada penempatan yang benar-benar sejajar terhadap kaum perempuan dan laki-laki. Terjadinya diskriminasi, pelecehan seksual dan tindakan-tindakan amoral lebih banyak di alami oleh kaum perempuan. Tahun demi tahun kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan bukannnya berkurang, malah semakin meningkat, terlihat dari peningkatan pelanggaran seksual di tahun 2011 sampai 2014 yang di data oleh Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) dimana tahun 2011 tercatat ada 328 kasus, naik menjadi 746 di tahun 2012, kemudian naik 525 di tahun 2013 dan melonjak naik 1380 kasus di tahun 2014. Hal ini menandakan bahwa negara tidak benar-benar memberikan perlindungan dan sosialisasi yang baik terhadap rakyatnya. Belum lagi banyaknya kasus-kasus penganiayaan yang di alami oleh tenaga kerja perempuan yang di eksploitasi ke luar negeri (TKI) sama sekali tidak ada perlindungan yang serius untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan mereka. Belum lagi ditambah dengan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang di lakukakan oleh aparat keamanan dan militerisme, sebagaimana banyaknya perempuan-perempuan di tanah Papua yang mengalami depresi atas perlakuan keras seperti pemerkosaan dan penganiayaan. Ini juga membuktikan bahwa negara tidak lagi membenamkan tanggung jawabnya terhadap persoalan rakyat. Penindasan terhadap kaum perempuan telah berlangsung sejak lama hingga sekarang, peran budaya partriarki dan negara yang telah menciptakan kubang diskriminasi bagi perempuan dalam batasan kehidupan sosial sebagai akibat dari monopoli kaum laki-laki atas sektor publik serta membatasi ruang gerak perempuan hanya pada ruang domestik saja, negara juga turut berperan atas suksesnya penindasan terhadap perempuan dengan produk undang-undang yang sangat tidak memihak pada perempuan (Undang-Undang Pornografi).

Berbagai masalah yang muncul mengenai krisis finansial dan ekonomi dunia telah menjadi ancaman serius global, serta berdampak serius terhadap perempuan akibat pemotongan subsidi kesehatan dan pendidikan, serta peningkatan resiko pereduksian alokasi pemberdayaan perempuan. Kami pun tahu hal serupa ini terjadi bukan secara kebetulan, tetapi di pengaruhi oleh perkembangan zaman, serta intervensi negara melalui kebijakan sistem Penindasan dan penghisapan (Kapitalisme) yang di sembah oleh negara itu sendiri demi kelangsungan modal-multinasional dan keuntungan borjuis nasional. Sistem yang tidak memanusiakan-manusia akan membungkam perkembangan manusia baik di rana pemenuhan ilmu pengetahuan, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan akan menutup ruang demokrasi sebesar-besarnya sampai rakyat yang tidak memiliki kekuasaan-hidup hingga matinya bertahan pada tatanan kemiskinan. Hegemoni-hegemoni yang telah di pertahankan negara tidak akan merubah karakteristik masyarakat menjadi Feminis, malah sebaliknya hanya akan mengembangkan watak patriarki melalui media, dakwah-dakwah, ilmu pengetahuan dan lain-lainnya.

Untuk itu kami dari Pusat Perjungan Rakyat Indonesia,Wilayah Sulawesi Tengah (kota Palu, kota Poso, kota Luwuk) yang tergabung dari beberapa organisasi mahasiswa, serikat buruh, perempuan dan rakyat miskin lainnya menyerukan aksi serentak di sulawesi tengah pada tanggal 8 maret 2016 dalam momentum Interenational women’s day (IWD), menentang segala bentuk diskriminasi, pelecehan seksual, rasisme dan menentang segala kebijakan yang sama-sekali tidak berpihak terhadap mayoritas rakyat miskin di negeri ini. Kami akan terus melawan ketidakadilan yang kami dapatkan di kenyataan kehidupan sosial, kami akan terus memperluas titik-titik perjuangan dan mengajak seluruh rakyat untuk bersatu melawan Sistem Kapitalisme, Militerisme dan Budaya Patriarki.

Tinggalkan Balasan