Praktisi Hukum: Uji PP Pengupahan Tak Bisa Dilakukan Segera

0
muhammad hafidz
Muhammad Hafidz (tengah). Kredit foto: Hukumonline.com

Solidaritas.net, Jakarta – Setelah melakukan berbagai aksi unjuk rasa dan “mogok nasional” 24-27 November yang belum juga membuahkan hasil dibatalkannya PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, elemen buruh bersiap melakukan judicial review PP Pengupahan tersebut.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jawa Barat, Roy Jinto menyatakan akan melanjutkan perjuangan buruh dengan pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung terkait PP tersebut.

“Sudah diputuskan pengajuannya oleh beberapa serikat buruh dan berbagai aliansi,” kata Jinto yang juga tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Barat, Jumat (27/11/2015) dilansir dari Beritasatu.com.

Roy juga mengatakan, paling cepat pekan depan gugatan menguji PP 78/2015 itu akan didaftarkan ke Mahakamah Agung. Gerakan Buruh Indonesia (GBI) juga menyatakan hal yang sama dalam konferensi pers yang digelar di gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), di Cikini, Jumat. 

“Akan diiringi aksi 10 ribu orang di istana dan MA,” kata presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dikutip dari Republika.co.id. 

Praktisi Hukum Hubungan Industrial, Muhammad Hafidz, berpendapat lain. Menurutnya, uji PP Pengupahan tidak dapat dilakukan segera karena terkendala pasal 55 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dikutip dari Buruhonline.com, Hafidz menjelaskan jika batu uji yang digunakan dalam menguji PP Pengupahan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Mahkamah Agung tidak diperbolehkan untuk memeriksa permohonan judicial review tersebut.

Ia juga memberikan keterangan bahwa saat ini ada tiga perkara yang sedang menguji UU Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi. Pertama, Perkara Nomor 72/PUU-XIII/2015 memohon pengujian terhadap pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 yang didaftarkan oleh Sukarya dan Siti Nurofiqoh dari Gabungan Serikat Buruh Mandiri (GSBM) serta Serikat Buruh Bangkit (SBB), yang diwakili oleh Pelikson Silitonga, dkk dari Tim Advokasi Tolak Penangguhan Upah. Kedua, Perkara Nomor 114/PUU-XIII/2015, yang diajukan oleh sepuluh buruh dari beberapa perusahaan di-Jawa Barat. Ketiga, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang diwakili oleh Hariyadi Budi Santoso dan Sanny Iskandar, juga telah mendaftarkan pengujian UU Ketenagakerjaan pada 4 November lalu.

“Dalam Pasal 55 UU MK, menegaskan, bahwa apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian di MA sedang dalam proses pengujian di MK, maka MA harus menghentikan proses pengujian tersebut sampai ada putusan MK,” jelas Hafidz.

Selengkapnya, pasal 55 UU MK berbunyi:

“Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”

Juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR) Andri Yunarko, berpendapat PP Pengupahan bertentangan dengan pasal 88-89 UU No. 13/2003 yang mengatur penetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas, pertumbuhan ekonomi dan rekomendasi dari Dewan Pengupahan.

“Pasal 89 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyebutkan komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri. Tetapi, pemerintah malah mengaturnya dengan peraturan pemerintah. PP Pengupahan benar-benar menyalahi UU Ketenagakerjaan,” tandas Andri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *