
Solidaritas.net – Dalam dunia perburuhan internasional dikenal istilah precarious workers, yang saat ini menjadi fokus perjuangan beberapa organisasi buruh, baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal. Dilansir dari International Labor Rights Forum, istilah precarious workers diartikan sebagai buruh yang melakukan pekerjaan tetap, akan tetapi tidak memiliki hak sebagaimana layaknya buruh tetap.
Secara umum, para buruh ini menjadi pelaku pekerjaan yang tidak tetap, upah rendah dan seringkali berada di bawah kondisi kerja yang lebih berbahaya. Mayoritas dari mereka tidak mendapatkan jaminan sosial serta sering ditolak untuk menjadi anggota serikat buruh. Mayoritas perempuan, kaum minoritas dan buruh migran, berada dalam jenis pekerjaan ini.
Di Indonesia, dikenal istilah sistem kerja kontrak (PKWT), harian lepas dan outsourcing, yang termasuk ke dalam kategori precarious work. Penggunaan buruh kontrak, buruh harian lepas maupun buruh outsourcing, merupakan bagian dari strategi bisnis global untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Tidak hanya mengurangi biaya, tujuan jangka panjang dari penerapan sistem ini adalah untuk melemahkan kekuatan kaum buruh dan menghilangkan hak-hak buruh melalui hubungan kerja.
Untuk memahami apa yang merupakan inti dari strategi ini, penting untuk memahami bahwa seluruh kerangka hukum perburuhan, termasuk hukum perburuhan internasional, didasarkan pada hubungan tetap antara majikan dan buruh: pekerjaan tetap, di bawah kontrak kerja untuk durasi tidak terbatas, dengan majikan tunggal, dan dilindungi terhadap pemecatan yang tidak sah.
Dari perspektif sejarah, pengusaha menemukan dari waktu ke waktu bahwa sistem perbudakan tenaga kerja tidak efisien secara ekonomi dan tenaga kerja yang “bebas” dapat dipekerjakan tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menyediakan tempat tinggal dan makanan. Namun kaum buruh memukul balik dengan mengorganisir dirinya ke dalam serikat-serikat buruh dan memenangkan hak untuk berunding bersama.
Sekarang pengusaha mencoba untuk memutar kembali waktu dengan cara membersihkan diri dari buruh tetap. Banyak pengusaha telah menciptakan sebuah dunia kerja, di mana tidak ada lagi kebutuhan untuk memberangus serikat buruh ataupun menggunakan kekerasan terhadap para pemimpin serikat, ketika mereka hanya bisa merekrut anggota potensial (buruh tetap) yang semakin sedikit jumlahnya.
Buruh kontrak, harian lepas dan outsourcing yang tidak berserikat, tidak memiliki daya tawar untuk mempertahankan pekerjaan maupun pesangon saat PHK terjadi. Sementara pengusaha dapat menggunakan alasan efisiensi atau lesunya perekonomian untuk terus mengikis hak-hak buruh dan mengurangi jumlah buruh tetap.
Dalam kondisi demikian, maka perjuangan melawan sistem kerja kontrak (PKWT), harian lepas maupun outsourcing, menjadi sangat penting. Perjuangan ini mutlak diperlukan untuk kembali memperkuat daya tawar kaum buruh melalui serikat-serikat buruh, dalam jangka panjang, membuka peluang membangun kekuatan politik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.