Solidaritas.net – Bila kita jujur meneliti kesejarahannya, jika serikat-serikat buruh (apalagi yang pernah hidup pada masa Orde Baru dan tidak melawan terhadap penindasan serta pembodohannya) TIDAK DEMOKRATIS–belajar terbuka menerima masukan pemikiran-pemikiran maju yang berbeda–maka serikat-serikat buruh tersebut belum dengan sepenuhnya bertransformasi atau mengubah diri dalam memperjuangkan kepentingan kebahagiaan anggotanya, apalagi kepentingan kebahagiaan kaum buruh dan rakyat secara keseluruhan.
Memang, sekarang, setelah Orde Baru berhasil dijatuhkan, setelah sebagian ruang (aspek-aspek) demokrasi dibuka, serikat-serikat buruh tersebut ada yang menerima metode perlawanan aksi massa, namun itu saja tidak cukup, karena kita harus juga belajar dan paham tuntutan, tujuan dan metode perjuangan sejati: meredistribusikan kekayaan (nasional) secara lebih adil kepada rakyat [termasuk kepada kaum buruh, dengan membagi proporsi yang lebih adil antara produksi-terjual yang dihasilkan kaum buruh dengan keuntungan (yang tak berlebihan) yang selayaknya didapat pengusaha]; pemilikan sosial sumber-sumber atau sarana-sarana penghidupan masyarakat; kepribadian dan kemandirian perlawanan keseluruhan rakyat (dari bawah) terlepas dari kungkungan (hegemoni) cara-cara atau kesadaran lama elit-elit poliik, apalagi elit-elit politik sisa-sisa lama baik yang di lingkaran lebih-dalam atau lingkaran kurang-dalam Orde Baru.
Rakyat, termasuk kaum buruh, harus berkepribadian dan mandiri memiliki organisasi politiknya sendiri yang dibangun dari bawah dan memiliki serta merebut hak untuk menentukan nasibnya sendiri, agar bermartabat dan punya harga diri. Rakyat, termasuk kaum buruh, tak akan memenangkan perjuangannya bila tak bermartabat dan tak punya harga diri; terakhir, rakyat, terutama kaum buruh, harus meningkatkan produktivitasnya yang terlepas dari ketergantungan produktivitas modal asing yang sangat menghisap dan tidak memberikan kesempatan pengembangan produktivitas industrialisasi nasional kaum pekerja Indonesia, dan mengeruk sampai-sampai merusak lingkungan serta hampir-hampir tidak menyisakan landasan material sumberdaya alam bagi penghidupan rakyat.
Tengok lah, bahan-bahan dan kurikulum pendidikan serikat-serikat buruh itu, masih belum banyak beranjak dari yang diberikan pada masa Orde Baru, pada masa masih SPSI, yang sekadar mewadahi (mengakomodir) dan menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan sistem (ekonomi, hukum dan budaya) saat ini, yang tak selayaknya, yang ditetapkan oleh negara yang tidak membela kepentingan rakyat/buruh dan tidak memanusiakan rakyat/buruh. Hayo, siapa berani jujur (bahkan sejak dalam pikiran)?