Solidaritas.net, Rembang– Sejak 16 Juni 2014, ribuan ibu-ibu telah bergerak menentang pembangunan PT. Semen Indonesia di Gunung Watuputih bagian dari gugusan pegunungan karst Kendeng Kab Rembang Surabaya. Sampai saat ini perjuangan ibu-ibu Rembang masih terus berlanjut.

Menolak pembangunan pabrik semen bukanlah hal yang tidak beralasan, pabrik semen itu ditolak karena dianggap akan mencemari 109 mata air yang menghidupi 600 ribu warga. Bagi Ibu-ibu Rembang wilayah tersebut adalah sumber kehidupan bagi mata pencaharian mereka sebagai petani juga peternak.
Demi memperjuangkan wilayah itu Ibu-ibu Rembang beberapa kali melakukan aksi protes terhadap pihak pengusaha, berhadapan dengan aparat negara hingga diusir dan melakukan aksi geruduk kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) karena beberapa dosen UGM justru mengamini kehendak PT Semen Indonesia sekaligus memperlihatkan kepada kaum intelektual di kampus tersebut bahwa Ibu-ibu Rembang telah melawan segala ketamakan kaum pemodal yang akan merusak sumber penghidupan mereka.
Bahkan Ibu-ibu pemberani ini mendirikan tenda disekitaran kaki gunung Kendeng, bukan hanya satu atau dua hari, Ibu-ibu Rembang mendiami tenda dibawah kaki gunung selama 273 hari.
Seperti yang dilansir www.mongabay.co.id 19 Maret 2015, warga Rembang Sukinah mengatakan “Sudah 273 hari para perempuan bertahan di tenda dan akan terus dilakukan hingga pembangunan pabrik semen batal.”
Tidak cukup sampai disitu, ibu-ibu Rembang dengan didampingi beberapa aktivis seperti dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) berupaya menyelesaikan persoalan ini hingga menempuh jalur hukum. Sayangnya, hakim ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Susilowati Siahaan menilai gugatan yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan sejumlah warga Rembang itu sudah kadaluarsa (16/4/2015). Seharusnya gugatan itu diajukan sebelum 90 hari setelah dikeluarkannya izin tanggal 7 Juni 2012 lalu. Sedangkan masyarakat baru mulai terganggu kepentingannya pada April 2013.
Hal ini sangat membuat Ibu-ibu Rembang terpukul, usai sidang saat keluar dari kantor pengadilan, Ibu-Ibu Rembang ada yang menyeka airmata. Meskipun begitu, masyarakat Rembang sepakat akan melakukan upaya hukum banding terhadap putusan hakim.
Protes dan solidaritas kepada masyarakat Rembang pun mulai beramaian di media sosial sejak awal pergerakan masyarakat Rembang menolak PT Semen Indonesia.
“Kita bisa hidup tanpa semen, tapi tidak tanpa air,” kata aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Mai Jebing.