Bandung – Rapat pleno penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) Jawa Barat tahun 2017, batal digelar di Markas Kodam III/Siliwangi TNI Angkatan Darat.
Foto ilustrasi: Buruh melawan kebangkitan militerisme (Sumber: LBH Jakarta) |
Melalui surat Nomor: Und.20/XI/perlin, Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat menerangkan, tempat rapat pleno pengupahan yang akan dilakukan besok Senin(21/11) dipindahkan ke ruang rapat Gedung Sate.
“Dipermaklumkan dengan hormat, menindaklanjuti surat Nomor Und.19/XI perlin tanggal 18 November 2016 perihal rapat pleno dewan pengupahan provinsi Jawa Barat. Untuk rapat pleno pengupahan tempatnya dialihkan,” demikian tertulis dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan Arif.
Pemindahan rapat pleno pengupahan UMK pun mendapat respon beragam dari buruh.
Salah seorang buruh yang bekerja di PT Kyokoru Blow Moulding Indonesia, Adit mengatakan sudah seharusnya rapat dilakukan di gedung milik rakyat, agar buruh sebagai rakyat dapat hadir untuk mengawasi/mendampingi utusan/perwakilannya dalam melakukan rapat pengupahan tersebut.
“Kami juga berharap agar rapat bisa dilaksanakan secara terbuka, supaya buruh dan rakyat bisa menjadi saksi dengan memantau perwakilan buruh dan dewan pengupahan Provinsi,” ujar Adit.
Adapula buruh yang menilai, perpindahan tempat hanyalah strategi pemerintah yang bersikap “sok humanis” dan agar dinilai tidak militeristik.
“Tempatnya memang bergeser tapi pemiskinan terhadap kaum buruh tetap terjadi. Ini dibuktikan dengan sikap arogan pemerintah yang tetap menggunakan PP 78 sebagai acuan penetapan upah. Padahal UU lebih tinggi kedudukannya” tutur salah seorang buruh perwakilan SPSI, Eko kepada Solidaritas.net.
Pendapat berbeda diungkapkan perwakilan KASBI Karawang, Beni. Dirinya berpendapat dimanapaun tempat berundingnya adalah sah. Hanya saja dengan menjadikan markas TNI sebagai tempat perundingan, sama dengan membiarkan militerisme masuk ke dalam urusan sipil.
“Perundingan upah di Kodim itu menurut saya sudah berbau militerisme dan bentuk intimidasi bagi buruh,” katanya.
Buruh menduga, pemindahan tempat rapat pleno berhubungan dengan banyaknya jumlah buruh yang mencibir pemerintah terkait kasus Marsinah.