Solidaritas.net – Aturan baru soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 2015, terus menuai protes dari berbagai kalangan, terutama kaum buruh. Pasalnya, dengan ketentuan baru tersebut, pencairan JHT yang sebelumnya minimal 5 tahun keanggotaan sekarang berubah menjadi lebih lama, yakni setelah minimal 10 tahun keanggotaan.
Tak pelak, para buruh pun mengajukan protes terkait aturan baru tersebut. Berbagai cara dilakukan untuk menyampaikan penolakan terhadap aturan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua itu, termasuk melalui dunia maya, terutama lewat sosial media seperti Facebook dan Twitter. Selain itu, ada pula buruh yang menyampaikan protes terhadap peraturan tersebut melalui petisi online di Change.org.
Petisi online tersebut dibuat oleh seorang buruh yang berdomisili di Yogyakarta, bernama Gilang Mahardhika, pada Rabu (1/7/2015). Dengan judul ‘Membatalkan kebijakan baru pencairan dana JHT minimal 10 tahun’, petisi itu ditujukan pada BPJS Ketenagakerjaan, Presiden Joko Widodo dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Hingga berita ini ditulis, Sabtu (4/7/2015) pagi WIB, sebanyak 100.877 orang sudah ikut menandatanganinya.
“Kami merasa dirugikan, karena uang tersebut adalah uang yang dipotong tiap bulan dari penghasilan kami. Selain itu peraturan ini juga terkesan terburu-buru dan minim sosialisasi, sehingga banyak masyarakat yang tidak tahu-menahu dan akhirnya merasa diperlakukan secara kurang adil. Yang patut disayangkan lagi adalah tidak ada masa transisi sebelum diberlakukannya aturan ini secara resmi. Penjelasan dari pihak BPJS juga terkesan kurang solutif; pihak BPJS beralasan tidak dapat memberi solusi karena hanya menjalankan kebijakan dari pusat,” tulis Gilang dalam petisi online tersebut, seperti dikutip Solidaritas.net.
Pada petisi online itu, dia mengaku sudah bekerja selama 5 tahun lebih. Bulan Mei 2015 lalu, Gilang memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencoba berwiraswasta, dengan tambahan modal dari JHT yang iurannya telah dia bayar selama 5 tahun bekerja. Awalnya, saat mengajukan pencairan pada bulan Juni 2015, sempat ditolak karena bekas perusahaan tempatnya terakhir bekerja belum menutup rekening BPJS Ketenagakerjaan atas namanya.
Setelah meminta pihak perusahaan untuk menutup rekening tersebut, barulah dia mendapat informasi bahwa dana JHT tersebut akan segera dicairkan pada awal Juli 2015. Namun, petaka pun datang, karena mulai 1 Juli 2015, pemerintah memberlakukan aturan bahwa dana JHT baru bisa dicairkan setelah keanggotaan minimal 10 tahun. Itu pun hanya bisa diambil sebesar 10% untuk persiapan hari tua, atau 30% untuk biaya perumahan. Sedang, sisanya baru bisa diambil setelah pemiliknya berusia 56 tahun, meninggal atau cacat total.
“Bagi teman-teman atau saudara-saudara yang ikut prihatin maupun merasakan ketidakadilan ini, sila ikut berkontribusi dalam petisi ini; dengan harapan aspirasi kita dapat tersampaikan dan hak kita dapat diperhatikan. Semoga bermanfaat, dan keadilan selalu menyertai kita,” tulis Gilang lagi menutup penjelasannya dalam petisi online tersebut.
Untungnya, pada Jumat (3/7/2015), Presiden Jokowi menyebut bahwa pemerintah akan segera merevisi aturan tersebut. Dia memanggil dan memerintahkan Menaker Hanif Dhakiri dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya untuk mengubah aturan tersebut, yakni khusus bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengundurkan diri, bisa langsung mencairkan dana JHT setelah satu bulan kemudian.