Solidaritas.net, Jakarta- Kurang lebih 50 tahun lamanya pelanggaran Hak Asasi Manusia telah berlalu, namun belum ada titik terang penyelesaian kasus pembantaian jutaan penduduk Indonesia pada tahun 1965/1966 itu.
Hingga akhirnya pemerintah memilih jalan rekonsiliasi sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM pasca G30S PKI, namun upaya ini justru menuai penolakan dari berbagai pihak.
Wakil Presiden, Jusuf Kalla, adalah salah seorang yang turut menolak permintaan maaf tersebut karena dianggap tidak jelas akan disampaikan oleh siapa dan juga berdasarkan apa.
“Permintaan maaf itu, timbul dulu diperkirakan dalam pidato kenegaraan presiden (14 Agustus 2015). Tapi ternyata kan tidak ada, tidak tahu dasarnya apa, tapi yang jelas tidak ada itu permintaan maaf dari presiden, karena tidak jelas mau minta maaf oleh siapa atas salah apa kan,” jelas Jusuf Kalla dilansir dari bbc.com.
Serupa dengan itu, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, menyatakan negara tak perlu meminta maaf kepada keluarga anggota dan simpatisan PKI. Sementara ormas Islam NU menyatakan menolak rencana permintaan maaf dari pemerintah, seperti disampaikan Wakil Ketua Umum NU, Slamet Effendi Yusuf. Baginya permintaan resmi dari pemerintah akan memberikan implikasi yang mengesankan kelompok non-komunis bersalah dan merupakan pemutarbalikan sejarah.
“Saya masih berharap presiden tidak melakukan itu, NU jelas tidak setuju dengan rencana itu, presiden tidak bisa melihat peristiwa 65 dengan perspektif sekarang, apa yg terjadi di 65 berada dalam konteks politik yang tidak bisa dilepaskan dari perilaku PKI sejak 1960 yang sangat konfrontatif dengan kekuatan politik lain khususnya Islam. Dan PKI, Pemuda Rakyat, BTI, Lekra dll yang benar, kemudian ABRI, NU, Banser, dan lain-lain dianggap salah. Wah, ini pemutar balikan sejarah,” jelas Slamet.
Kekhawatiran itu ditepis oleh Ketua Komnas HAM, Nurcholis, yang menyatakan permintaan maaf yang disampaikan presiden ditujukan kepada para korban pelanggaran HAM 65, bukan kepada partai tertentu dalam konteks ini PKI.
Sedangkan menurut Jaksa Agung HM Prasetyo Prasetyo, pemerintah memilih untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM termasuk kasus 1695/66 melalui jalan non yudisial karena sulit mencari bukti dan tersangka yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Lagipula menurut Prasetyo penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui rekonsiliasi juga diatur dalam UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Sementara tentunya ada berbagai kesulitan dan kendala bukti saksi tersangkanya, kalaupun ada, waktu itu kan chaos kan siapa berbuat apa juga sulit ditentukan, untuk itu kita diharapkan dapat menempuh penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dengan jalan rekonsiliasi” jelas dia.