Solidaritas.net, Jakarta – Selain menilai Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan (PP Pengupahan) sebagai kado pahit bagi kaum buruh, anggota DPR Rieke Diah Pitaloka juga menyebutkan, bahwa peraturan tersebut cacat hukum. Hal itu dia sampaikan karena menurutnya Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang Pengupahan sudah menyalahi beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan.
Pertama, melanggar pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Melanggar pasal 89 ayat (3) UU 13 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan upah minimum ditetapkan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau Bupati/walikota. (Baca juga: Rieke Diah Pitaloka Tolak RPP Pengupahan)
Kedua, PP dan Permenaker itu juga akan bertentangan dengan pasal 98 ayat (1) UU 13 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan: untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Kebijakan ekonomi jilid keempat untuk kaum buruh adalah perubahan formula perhitungan upah yang baru. Formulasi pengupahan yang dirancang pemerintah sendiri adalah penambahan elemen inflasi dan pertumbuhan ke dalam upah minimum tahun berjalan, sebagai perhitungan upah minimum tahun berikutnya. Formulasi pengupahan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang Pengupahan.
Rieke menilai perumusan itu dilakukan sepihak tanpa survei pasar dan peran tripartit dewan pengupahan.
“PP dan Permenaker ini adalah kado pahit untuk buruh,” katanya, Jumat(16/10/2015), dilansir dari cnnindonesia.com.
Baginya formulasi yang hanya ditentukan faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah kesalahan fatal. Sebab, kenaikan upah hanya berbasis angka semu, bukan kemampuan atau daya beli riil dari para buruh dan pekerja. Angka inflasi tidak mencerminkan tingkat daya beli dan kesejahteraan buruh. Adapun pertumbuhan ekonomi hanyalah variabel makro yang tidak relevan jadi indikator perhitungan upah.
Pemerintah, kata dia, tak memperhitungkan faktor risiko ekonomi, di mana sering terjadi fluktuasi dan ketidakstabilan ekonomi. Seperti depresiasi rupiah, kenaikan harga bahan bakar minyak dan listrik. Berdasarkan hal itu, Rieke meminta formulasi tersebut dicabut.