Saat Dosen Membela Pengusaha dan Modal

“Yang dinamakan jaman modern Tuan Tollenaar, adalah jaman kemenangan modal. Setiap orang di jaman modern diperintah oleh modal besar, juga pendidikan yang Tuan tempuh di HBS, disesuaikan dengan kebutuhannya – bukan kebutuhan Tuan pribadi. Begitu juga surat kabarnya, semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan” – Pramoedya Ananta Toer (Buku Anak Semua Bangsa)

dosen bela pengusaha
Petani Rembang berdemo di UGM.
Sumber: @chandrasptra/Twitter

Solidaritas.net – Pada tanggal 7 Desember 2014, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya menjatuhkan putusan PHK terhadap puluhan buruh PT Interbat, Sidarjo akibat melakukan mogok kerja lebih dari 1 bulan. Sebuah putusan yang cukup janggal jika melihat dari kronologis kejadian yang diungkap selama persidangan berlangsung. (Baca: Mogok Lebih Dari Sebulan, Pengusaha PHK Buruh)

Tetapi tulisan ini tidak hendak menyoroti kejanggalan putusan PHI Surabaya yang menyatakan mogok kerja sah sesuai prosedur, tetapi kemudian dianggap melanggar kebiasaan dan kepatutan karena dilaksanakan lebih dari 1 bulan. Karena toh kita sudah sering mendapati putusan Hakim PHI yang merugikan buruh, oleh karenanya tuntutan untuk membubarkan PHI telah lama mengemuka.

Melainkan keterangan dari dua orang saksi ahli dengan latar belakang dosen Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dua orang yang dapat dianggap mewakili pandangan kaum intelektual kampus terhadap perjuangan buruh, perlawanan kelas tertindas terhadap kelas penguasa dalam sistem kapitalisme.

Dr.Abdul Rachmad Budiono, S.H.,M.H., seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, menyatakan bahwa jika perusahaan menginstruksikan buruh untuk kembali bekerja, maka buruh wajib mematuhi perintah tersebut dan jika buruh menolak, maka akan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Ia memberikan kesaksian dalam konteks perkara mogok kerja, dengan kata lain, ia menyatakan bahwa mogok kerja akibat pengusaha menolak berunding dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum jika pengusaha telah memerintahkan buruh bekerja kembali.

Bersama Dr.Asri Wijayanti, S.H., M.H., seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, keduanya memberikan pernyataan serupa bahwa mogok kerja yang dilakukan lebih dari 1 bulan melanggar asas kebiasaan dan kepatutan. Seperti apa jangka waktu mogok kerja yang dianggap sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan?

Perlu dipahami bahwa di Indonesia, mogok kerja dianggap sah dan berhak untuk mendapatkan upah jika telah memenuhi prosedur administratif dalam UU Ketenagakerjaan dan pengusaha benar-benar melakukan pelanggaran normatif. Ini berarti negara melepas tanggungjawab menegakkan aturan Ketenagakerjaan dan menyerahkannya pada kaum buruh dengan jalan mogok kerja.

Dalam konteks ini, kedua pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua dosen Fakultas Hukum tersebut justru menunjukkan kegagalan memahami aturan ketenagakerjaan yang ada dan kegagalan memahami penyebab munculnya hukum perburuhan. Justru melalui pernyataan tersebut, keduanya menempatkan mogok kerja sebagai ancaman bagi pengusaha dengan mengabaikan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengusaha terhadap hak-hak buruh.

Sehingga terang bahwa yang dimaksud kebiasaan dan kepatutan di atas tentu berkaitan dengan kepentingan modal, sebab mogok kerja yang relatif lama akan menghentikan gerak pertumbuhan modal. Di luar kepatutan dan kebiasaan memang jika sebuah perusahaan tidak beroperasi dalam jangka waktu yang lama, sementara persaingan menuntut peningkatan produktivitas setiap harinya.

Hal yang sama juga diperlihatkan oleh dua dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Eko Haryono dan Heru Hendrayana yang justru membela penambangan karst (semen) yang akan merusak kehidupan petani dan rakyat Rembang. Kesaksian yang berpihak pada pengusaha itu mendapatkan perlawanan dari warga Rembang dengan berdemo di depan kampus UGM pada 20 Maret 2015 lalu.

Pengusaha yang memiliki kekuatan modal mampu menggunakan kaum intelektual sekalipun untuk memenangkan kepentingan akumulasi dan perluasan modal. Hal ini terjadi di mana-mana, menimpa buruh maupun petani. Rakyat yang tak punya apa-apa tak punya jalan lain, selain melawan dengan kekuatan massanya sendiri.

Tinggalkan Balasan