Jakarta – Sejak UU Internet Transaksi Elektronik (ITE ) dilegalkan, banyak aktivis yang dilaporkan ke polisi dengan dalih pencemaran nama baik. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) menilai, pasal-pasal UU ITE hanyalah untuk membungkam demokrasi.
Kampanye hapus pasal 27 UU ITE. Foto: SAFENET. |
Dalam setahun terakhir SAFENET mencatat, ada 11 orang aktivis dilaporkan ke polisi karena dituding melanggar pasal-pasal pidana di dalam UU ITE. Padahal yang mereka sampaikan adalah bagian dari ekspresi untuk memperjuangkan kebenaran yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Apalagi, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi ICCPR (International Covenant On Civil Political Rights) dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil. Salah satu jaminan yang diberikan oleh konvensi tersebut adalah hak mengemukakan pendapat tanpa intervensi sesuai dengan pasal 19 ICCPR.
“SAFENET mendesak pemerintah dan Komisi 1 DPR RI agar mencabut pasal-pasal UU ITE yang kerap dipelintir untuk membungkam demokrasi seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 UU ITE,” demikian pernyataan Damar Juniarto sebagai juru bicara SAFENET, Selasa (16/8/2016).
Kepolisian dan Kejaksaan juga diminta untuk menolak pelaporan terhadap aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal UU ITE tersebut dan mendorong penyelesaian lewat mediasi sebagai alternatif pemidanaan. Selama ini, pemelintiran terhadap pasal-pasal UU ITE kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri dengan mengesampingkan keadilan dan kebenaran.
Damar juga mengatakan pihaknya telah melaporkan masalah ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menggalang solidaritas se Asia Tenggara untuk mengawasi proses demokrasi di Indonesia yang semakin dijerat oleh pasal-pasal di dalam UU ITE.