SAFENET: Empat Pasal dalam UU ITE, Subyektif

Jakarta- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) menilai pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) banyak memuat unsur subjektif.

JJ Adibrata. Sumber: Wikimedia Commons (CC-SA-4.0)

Sejak tahun 2008, SAFENET mencatat terdapat 154 kasus sejak UU ITE berlaku. Kasus pertama adalah kasus Narliswandi Piliang yang terjadi 28 Agustus 2008. Kasus ini terjadi saat Narliswandi Piliang atau Iwan Piliang menulis artikel Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, yang akhirnya membawa dirinya berurusan dengan Satuan Cyber Crime Polda Metro Jaya. Di tahun yang sama saat terjadi kasus Prita Mulyasari.

Kemudian, pada tahun 2014, Dodi Sutanto Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) divonis 14 bulan penjara di Pengadilan Negeri Medan, gara-gara tautan di media sosial miliknya.

SAFENET menjelaskan sejumlah persoalan dalam UU ITE tersebut. Pertama, adalah pasal 27 ayat 3 UU ITE, yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Definisi mendistribusikan dinilai terlalu luas, tidak membedakan komunikasi privat dan komunikasi publik. Kata mentransmisikan berarti melibatkan pihak perusahaan telekomunikasi dan pengembang.

Kemudian, tidak semua penghinaan dan/atau pencemaran nama baik menjadi urusan negara lewat pidana, dalam pasal 310 KUHP ada 6 macam penghinaan.  Selain itu, terjadi duplikasi hukum dengan pasal 310 dan 311 KUHP sehingga muncul ketidakpastian hukum.

Selain itu SAFENET juga mengritisi Pasal 28 ayat 2. Bunyi pasal itu adalah
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian ata permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Definisi informasi terlalu luas, sudah ada pasal 156 KUHP dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan pasal 28 justru kerap digunakan untuk menjerat orang yang berbeda keyakinan dan agama karena dianggap membenci agama tertentu.

Pasal 29 yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi,” juga dikritisi oleh SAFENET.

Pada pasal tersebut, kata ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dinilai sangat subyektif sehingga bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Selain itu, pasal 45 yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu milyar),”
Persoalannya, pengacara tidak hadir saat pemeriksaan padahal seseorang yang terancam pidana di atas 5 tahun penjara wajib mendapat bantuan hukum. Lalu, karena hukuman penjara di atas 5 tahun maka sesuai pasal 1 angka 21 KUHP seorang tersangka bisa ditahan karena memenuhi syarat obyektif dan subyektif. Penahanan bisa mencapai 100 hari. Padahal, mengenai ancaman pidana dan denda dalam KUHP, pencemaran diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Tinggalkan Balasan