
Solidaritas.net, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Said Iqbal menyebut kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China dan Taiwan akan membuat politiknya terancam. Ia juga menduh TKA China dan Taiwan sebagai mata-mata.
Hal itu diungkapkannya dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Mnggu(6/9/2015).
“Saya punya datanya di lima perusahaan di Ibu Kota. Ini bahaya, lama-lama buruh kasar dari China atau Taiwan itu jadi mata-mata, politik kita terancam,” ujar Said, dilansir dari Okezone.com.
Ia juga mengaku aneh dengan sikap Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Hanif Dhakiri yang tetap bersikukuh tidak percaya terhadap serbuan TKA tersebut. Padahal, diungkapkan Said, pihaknya sudah punya bukti-bukti kuat ada tenaga kerja asal China sudah berada di Jakarta, di mana mereka bekerja sebagai tukang gali batu, security dan bahkan tukang masak.
Tidak hanya itu, ia bahkan rela dijebloskan ke penjara apabila data-data yang dimilikinya itu palsu. Tetapi, menurutnya, Hanif juga harus mundur dari jabatan menteri jika di Ibu Kota Jakarta sudah ada buruh kasar dari negeri tirai bambu tersebut.
“Bukan hanya di Jakarta, tetapi di wilayah-wilayah lain di Indonesia sudah diserbu oleh buruh kasar asal China,” katanya.
Said yang pernah angkat bicara soal gini ratio atau angka kesenjangan antara kaya dan miskin di Indonesia yang sudah mencapai 0,42. Menurutnya hal tersebut bisa memicu gelombang revolusi unjuk rasa dan protes seperti di Arab yang dikenal dengan Arab Spring. Saat itu gini ratio di Tunisia sudah mencapai angka 0.51 persen.
“Kalau angka gini ratio terus meningkat sampai di atas 0.50 persen, jangan kaget masyarakat akan bergerak untuk memperbaiki kondisi yang terjadi. Buruh bisa kondisikan gelombang Arab spring di Tunisia terjadi di Indonesia, karena di Tunisia juga buruh yang bergerak,” kata Said,” ujarnya dilansir dari Tribunnews.com, Minggu(6/9/2015).
Pimpinan serikat buruh semakin aktif menyuarakan sentimen yang mengarah pada rasisme dan diskriminasi terhadap buruh beretnis Tionghoa. Padahal, buruh asing yang ada di Indonesia tidak hanya buruh Cina dan Taiwan saja. Di Batam, perusahaan galangan kapal menggunakan buruh-buruh asal India. Di Indonesia, mudah mengobarkan sentimen rasisme terhadap etnis Tionghoa untuk mendapatkan dukungan politik, karena warisan sejarah dan watak rasisme dari masa Orde Baru. Itulah agaknya, yang coba digunakan oleh Said Iqbal dalam penggalangan opini publik.
Padahal, slogan kelas pekerja adalah: Buruh Sedunia, Bersatulah!