Sakit Tanpa Surat Dokter, MA Anggap Buruh Mengundurkan Diri

mahkamah agung
Foto ilustrasi: gedung Mahkamah Agung. © mahkamahagung.go.id

Solidaritas.net, Pangkalpinang – Tak dapat dipungkiri bahwa dunia industri di Indonesia, masih dipenuhi oleh perselisihan antara pengusaha dengan buruh, yang seolah tak pernah usai. Salah satu kasus perselisihan antara pengusaha dan buruh terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pangkalpinang, yaitu antara Joyo dengan PT Foresta Lestari Dwi Karya, yang beralamat di Jl. Air Serkuk no 2 Tanjung Pandan Kabupaten Belitung.

Joyo merupakan buruh PT Foresta Lestari Dwi Karya yang telah bekerja di perusahaan selama 11 tahun. Perselisihan bermula ketika Joyo mengalami kecelakaan kerja, yaitu kaki terkilir pada tanggal 26 November 2010. Kecelakaan yang dialami cukup parah, karena dokter memvonis bahwa kaki Joyo sulit untuk disembuhkan, meski ia kembali berobat ke dokter pada keesokan harinya, yaitu tanggal 27 November 2010.

Akhirnya, Joyo memutuskan untuk mencoba pengobatan alternatif dengan berobat pada tukang urut pada tanggal 1 Desember 2010. Oleh tukang urut tersebut, Joyo disarankan untuk menjalani pengobatan alternatif selama 3 hari berturut‐turut pada pagi hari. Akibat menjalani pengobatan tersebut, Joyo tidak hadir untuk bekerja di perusahaan selama 3 hari dan berlanjut hingga kakinya sembuh total pada 13 Desember 2010.

Namun sayangnya, perusahaan telah menganggap Joyo mengundurkan diri dari perusahaan, lantaran tidak hadir untuk bekerja selama 9 hari berturut‐turut. Meskipun Joyo telah memberitahukan dan meminta ijin dari perusahaan, namun ia tak dapat memberikan surat keterangan resmi dari dokter sebagai bukti sakitnya yang sah. Hal inilah yang membuat perusahaan memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Joyo dengan alasan mangkir atau mengundurkan diri, terhitung sejak 18 Desember 2010.

Merasa diperlakukan tidak adil oleh pengusaha, Joyo pun menggugat PT Foresta Lestari Dwi Karya ke hadapan PHI Pangkalpinang atas kasus ini. Dalam gugatnnya, ia meminta uang kompensasi atas PHK terhadap dirinya berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebesar 27 juta rupiah.

Setelah memeriksa perkara ini, Majelis Hakim PHI Pangkalpinnag memutuskan untuk mengabukan sebagian gugatan Joyo. Dalam putusan nomor 04/G/2011/PHI.PKP tertanggal 26 Juli 2012, Majelis Hakim PHI Pangkalpinang menghukum PT Foresta Lestari Dwi Karya untuk membayar uang kompensasi sebesar 17,7 juta rupiah.

Namun pihak PT Foresta Lestari Dwi Karya merasa keberatan dengan putusan PHI Pangkalpinang tersebut. Sehingga pihak perusahaan pun mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Perusahaan tetap bersikeras bahwa tindakan Joyo termasuk dalam kategori mangkir dan oleh karenanya patut untuk diberhentikan dengan alasan mengundurkan diri, sesuai dengan isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di PT Foresta Lestari Dwi Karya.

Setelah memeriksa perkara, Mahkamah Agung memiliki pendapat yang berbeda dengan PHI Pangkalpinnag. Mahkamah Agung menilai bahwa ijin sakit tanpa surat resmi dari dokter termasuk dalam kategori mangkir dari kerja. Apalagi Joyo telah tidak masuk selama lebih dari 9 hari berturut‐turut tanpa surat resmi dari dokter.

Atas dasar ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan PHI Pangkalpinang dan melalui putusan nomor 527 K/Pdt.Sus-PHI/2013 tertanggal 25 Maret 2014, Mahkamah Agung memerintahkan agar PT Foresta Lestari Dwi Karya membayarkan uang penggantian hak dan uang pisah sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) dan pasal 168 ayat (1) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sumber website Mahkamah Agung

Editor: Andri Yunarko

Tinggalkan Balasan