Saksi Ahli Al-Jabar : Nota Dinas Tidak Punya Kepastian Hukum

Solidaritas.net, Jakarta – Sidang judicial review menuntut nota dinas bisa dieksekusi yang dimohonkan oleh Aliansi Jawa Barat (Al-Jabar) berlanjut dengan menghadirkan saksi ahli, Rabu (19/03), di Mahkamah Konstitusi. Dalam keterangannya, saksi ahli pemohon Asri Wijayanti membenarkan bahwa nota pegawai pengawas tidak memiliki kepastian hukum.

Menurut perempuan yang berprofesi sebagai Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya ini, diperlukan peran hakim Pengadilan Negeri agar nota pemeriksaan memiliki kepastian hukum.
“Dalam fakta yang ada, nota pegawai pengawas sudah menyatakan (pengusaha) melanggar. Namun apabila pengusaha tidak mau melakukan nota tersebut, tidak ada upaya hukum lebih lanjut,” ungkap Asri, dilansir dari mahkamahkonstitusi.go.id.
Ia juga mengungkapkan diskriminasi yang dialami oleh pekerja, karena nota dinas yang membela pekerja bisa dimentahkan oleh mediasi.

Dalam banyak kasus, pegawai pengawas selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengeluarkan nota dinas berupa rekomendasi yang harus dipatuhi oleh perusahaan yang melanggar aturan ketenagakerjaan. Namun, pengusaha bukannya mematuhi nota dinas, malah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh sehingga pelanggaran beralih menjadi perselisihan yang menuju mediasi, kemudian Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Meski pengusaha terbukti menyalahi ketentuan pelaksanaan pekerja kontrak sebagaimana yang diatur di pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), namun pegawai pengawas tidak berani menegakkan sanksi sesuai dengan ayat (7) pasal tersebut.

Ketidakpastian ini menjadi salah satu akar dari muncul dan meluasnya perselisihan hubungan industrial. Akibatnya, buruh menggunakan hukum jalanan dengan berbondong-bondong mendatangi perusahaan untuk memaksa pengusaha mengikuti ketentuan Undang-Undang.

Frasa “demi hukum” dalam pasal 59 ayat (7), pasal 65 ayat (8) dan pasal 66 ayat (7) sudah tidak diperdebatkan lagi,  namun frasa ini menjadi bertentangan dengan UUD jika tidak dimaknai sebagai dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, Al-Jabar meminta kepada MK untuk memberikan hak eksekutorial untuk pasal-pasal tersebut di pengadilan negeri. (Rn)

Tinggalkan Balasan