Sebuah surat dari Kementerian Ketenagakerjaan yang ditujukan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat menjelaskan tidak ada lagi penetapan upah minimum sektoral.
Surat bernomor 4/1176/HI.01.00/XI/2020 tertanggal 26 November 2020 ini beredar di media sosial. Surat yang ditandatangani oleh Direktur Pengupahan Ir. Dinar Titus Jogaswitani, MBA ini, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Merujuk surat Saudara Nomor 4299/TK.03.03.02/HI & Jamsos tanggal 13 November 2020 perihal Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota di Jawa Barat, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Sehubungan dengan telah diundangkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada tanggal 2 November 2020 menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang merubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), maka saat ini sudah tidak terdapat penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
- Pasal 81 Angka 26 UUCK telah menghapus ketentuan Upah Minimum Sektoral pada Pasal 89 UUK. Berdasarkan hal tersebut maka Gubernur saat ini tidak dapat lagi menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Tentu saja hal ini menjadi kabar buruk bagi buruh, khususnya buruh di sektor-sektor unggulan, seperti kimia, pertambangan, logam, otomotif dan elektronik.
Sebetulnya apa yang dimaksud dengan Upah Minimum Sektoral dan apa dampaknya bagi buruh jika ketentuan ini dihapuskan?
Apa itu Upah Minimum Sektoral
Dulu, keberadaan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK) diatur dalam Pasal 89 ayat (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut:
“Upah minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri dari atas : (a.) upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (b.) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.”
Menurut International Labour Organisation (ILO), sistem upah minimum berkisar dari sistem yang sangat sederhana, yang menentukan besaran unik yang ditetapkan di seluruh negeri, hingga sistem yang sangat kompleks yang menentukan besaran berbeda tergantung pada sektor kegiatan, pekerjaan, wilayah geografis dan/atau ukuran perusahaan, di antara berbagai alternatif lainnya.
Dalam penjelasan ini, jenis sektor kegiatan dapat menjadi salah satu variabel penentuan besaran upah. Mengapa? Masih menurut penjelasan ILO, beberapa sektor kegiatan memiliki produktivitas rata-rata dan “kapasitas membayar” yang lebih tinggi daripada sektor lainnya, dan mampu membayar upah yang lebih tinggi.
Biasanya, sektor-sektor yang dimaksud adalah sektor-sektor padat modal yang produktivitas besar karena kapasitas mesin-mesin produksinya juga lebih canggih.
Penerapan upah minimum sektoral mengacu pada 49 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan, sebagai berikut:
Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan. Penetapan Upah minimum sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Upah minimum sektoral provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan. Upah minimum sektoral kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum kabupaten/kota di kabupaten/kota yang bersangkutan
Mari kita mengambil contoh upah minimum sektoral DKI Jakarta tahun 2020 yang ditetapkan dalam Pergub No. 10/2020 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi Tahun 2020.
Salah satu sektor yang upah sektoralnya cukup tinggi adalah sektor otomotif yang menembus angka Rp5 juta dalam kondisi UMP DKI Jakarta sebesar Rp4.276.349. Perhatikan gambar tabel upah di bawah ini.
Jika dibandingkan dengan UMP DKI yang sebesar Rp4,2 juta, maka perbandingannya dengan sektor otomotif cukup signifikan. Selisih upahnya dapat mencari Rp1 juta. Bagi pekerja di sektor otomotif, hal ini jelas sangat menguntungkan karena menambah kesejahteraan pekerja.
Konsep perbandingan yang sangat juga dapat ditemukan dalam upah di kota/kabupaten lainnya.
Baca juga: Memahami Lembaga Kerja Sama Bipartit Dan Tripartit
Hilangnya UMSK
Dihapuskannya UMSK dari ketentuan peraturan ketenagakerjaan, artinya di masa depan pemerintah hanya akan menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Memang UMSK yang sudah ditetapkan saat ini tidak akan turun kembali dengan adanya ketentuan Pasal 191A huruf b UUCK sebagai berikut:
“bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.”
Skenario yang paling mungkin adalah:
- Pemerintah menaikkan UMP dan UMK;
- Pengusaha tidak perlu menaikkan upah apabila upah sektoral yang ditetapkan masih di atas UMK yang ditetapkan oleh pemerintah.
Contoh, Pemerintah DKI Jakarta telah menaikkan UMP menjadi Rp4.416.186,548. pada tahun 2021. Bagi perusahaan-perusahaan di sektor otomotif yang membayar pekerjanya dengan upah sektoral yang mencapai Rp5 jutaan, tidak perlu lagi menaikkan upahnya. Karena nilai upah mereka masih lebih tinggi daripada nilai UMP DKI Jakarta.
Perusahaan-perusahaan ini dapat hanya menunggu saja beberapa tahun ke depan sampai nilai UMP menjadi lebih tinggi daripada nilai upah sektoral yang mereka bayarkan. Barulah mereka wajib menaikkan upah mengikuti ketentuan UMP tersebut. Begitulah, upah pekerja di sektor otomotif menjadi stagnan, kecuali pemerintah mengeluarkan aturan lain untuk mendukung kenaikan upah sektoral.
Baca juga: Apa Artinya Upah Sektoral?
Tentu saja selain mengharapkan kebijakan pemerintah, serikat buruh di perusahaan dapat berupaya melakukan perundingan dengan pengusaha agar menaikkan upah di tingkat perusahaan. Langkah menaikkan upah di tingkat perusahaan tanpa bergantung pada kebijakan pemerintah juga akan mampu meminimalisir potensi konflik yang tidak perlu.
Namun, menaikkan upah di tingkat perusahaan tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seringkali sangat bergantung pada daya tawar yang dimiliki oleh buruh itu sendiri dalam mendesakkan tuntutan ini.
Di sisi lain, daya tawar buruh akan semakin tergerus mengingat pengusaha telah mengantongi berbagai kemudahan mempekerjakan buruh secara fleksibel.
Melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kini lebih murah daripada sebelumnya. Mempekerjakan buruh juga lebih mudah dengan menggunakan outsourcing yang telah diperluas ke semua bidang pekerjaan.
Bahkan batasan penggunaan buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) makin kabur. Jangan lupa juga masih skema pemagangan yang semakin mudah dengan adanya peraturan menteri terbaru.
Keringanan pembayaran pesangon juga semakin memudahkan mengganti buruh-buruh lama yang berstatus sebagai karyawan tetap.
Saat artikel ini ditulis, saya telah menerima banyak cerita dari para buruh yang mengisahkan upaya-upaya PHK atas nama pandemi Covid-19. Tetapi sebenarnya sedang berusaha menggantikan mereka dengan buruh-buruh baru yang lebih fleksibel.
UUCK dengan sangat nyata mempreteli hak-hak buruh dan membuat masa depan buruh Indonesia semakin suram.***