Solidaritas.net, Palembang – Sebanyak delapan orang buruh PT Baker Atlas Indonesia yang diwakili oleh Ronald, dkk, menggugat kekurangan pembayaran upah lembur ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Palembang. Total kekurangan pembayaran upah lembur yang seharusnya dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada para buruh tersebut mencapai 2,6 miliar rupiah.
Perselisihan berawal saat delapan orang buruh tersebut diminta untuk bekerja diluar jam kerja wajib atau melakukan lembur untuk mengurus kepentingan perusahaan. Terhadap kerja lembur tersebut, perusahaan memberikan insentif namun jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah perhitungan upah lembur, sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu.
Hal ini membuat Ronald, dkk mengajukan protes ke perusahaan, namun PT Baker Atlas Indonesia tetap menolak kekurangan pembayaran upah lembur tersebut kepada Ronald, dkk. Alasannya perhitungan upah lembur tersebut didasarkan pada kesepakatan dalam perjanjian kerja yang menyatakan bahwa mereka hanya menerima insentif atas kerja lembur yang dilakukan.
Tidak terima dengan alasan tersebut, Ronald, dkk membawa permasalahan ini ke PHI Palembang. Melalui putusan nomor 18/PHI/2013/PN.PLG tertanggal 1 April 2014, Majelis Hakim PHI Palembang menolak gugatan kekurangan pembayaran upah lembur tersebut. PHI Palembang membenarkan alasan perusahaan yang mendasarkan perhitungan upah lembur pada perjanjian kerja yang telah disepakati bersama. Hal ini sesuai dengan pasal 1338 dalam KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian kerja dapat dipandang sebagai Undang Undang bagi kedua belah pihak yang telah menandatanganinya.
Setelah putusan djatuhkan, Ronald, dkk, mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dalam kasasinya, Ronald, dkk mengatakan bahwa PHI Palembang telah salah menerapkan hukum dan mengabaikan ketentuan pada pasal 51 ayat (2), pasal 54 ayat (2), pasal 78 ayat (2) dalam UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Kep.234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu.
Namun Mahkamah Agung pun membenarkan pendapat PHI Palembang, melalui putusan nomor 498 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tertanggal 7 Januari 2015, Mahkamah Agung menolak kasasi Ronald, dkk dan menyatakan bahwa perjanjian kerja antara Ronald, dkk dengan PT Baker Atlas Indonesia mengenai perhitungan upah lembur berdasarkan insentif adalah sah dan berlaku.
Setelah kekalahan dalam menuntut kekurangan upah lembur, saat ini Ronald, dkk kembali menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh pihak PT.Baker Atlas Indonesia terhadap mereka. Kasus ini sedang dimediasi oleh Disnakertrans setempat dan diduga pengusaha melakukan tindak pidana union busting (pemberangusan serikat buruh) dengan melakukan PHK terhadap pengurus serikat buruh. (AY/RDN)
Sumber website Mahkamah Agung