Fahri Hamzah bersama pekerja China. Kredit: Suarasurabaya.net (fair use) |
Presiden Joko Widodo akhirnya bicara menanggapi isu serbuan 10 juta tenaga kerja asing (TKA) asal China. Pihaknya menjelaskan 10 juta itu adalah target wisatawan dari Tiongkok yang hendak dicapai oleh pemerintah.
Sentimen anti China memang kembali menguat menjelang Pilpres 2014 saat Jokowi sebagai salah seorang Capres dituduh sebagai keturunan China-Kristen. Meskipun sebenarnya sentimen anti China sudah ada sejak lama di Indonesia yang bisa dihidupkan sewaktu-waktu dalam situasi politik tertentu.
Dalam aksi Bela Islam jilid 2 yang berlangsung pada 4 November 2016 memuncak pada aksi kerusuhan dan penjarahan pada malam harinya. Serangan terhadap etnis Tionghoa di jalanan yang mengakibatkan sejumlah mobil mengalami kerusakan kaca pecah di daerah Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. Hal ini menimbulkan kepanikan di kalangan komunitas etnis Tionghoa.
Itulah mengapa menggarami sentimen terhadap etnis Tionghoa sesungguhnya sangat berbahaya bagi perdamaian di negeri ini. Jika kita melakukannya, sama saja kita melestarikan warisan kolonial, mengingat rasisme terhadap etnis Tionghoa diciptakan oleh kolonial Belanda.
Anti Pekerja China
Isu serbuan 10 juta pekerja China beredar luas di media sosial. 10 juta pekerja yang katanya akan merampas pekerjaan orang-orang pribumi dan bahkan menjadi suara gelap dalam Pemilu 2019 nanti. China yang berhaluan komunis dinilai sangat berbahaya dan mengancam ideologi Pancasila. Komunisme adalah ideologi terlarang di Indonesia selama 50 tahun terakhir ini. Bisa dibilang China adalah satu paket identitas yang lengkap untuk membangkitkan kemarahan orang Indonesia.
KSPI yang aktif memprotes keberadaan pekerja China sejak tahun 2015 mengatakan jumlah TKA China mencapai ratusan ribu bahkan jutaan yang bekerja sebagai buruh kasar, mengambil alih pekerjaan buruh lokal dan melanggar hukum ketenagakerjaan.
Data terbaru yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Imigrasi menyebutkan 31.030 orang dari total 160.865 warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Menurut Menaker Hanif Dhakiri, pekerja Indonesia yang bekerja di China daratan masih lebih banyak yakni sekitar 81 ribu orang. Itu belum lagi pekerja Indonesia yang bekerja di Taiwan dan Hong Kong.
Pada September 2015, Fahri Hamzah, anggota DPR dari Fraksi PKS melakukan sidak pekerja China di Bayah, Banten. Dari sidak tersebut, Fahri menemukan 231 pekerja konstruksi di pabrik dan 43 pekerja konstruksi di pelabuhan. Buruh China bekerja membangun pabrik dan pelabuhan hanya sampai proyek selesai dan selanjutnya direncanakan akan diganti dengan pekerja lokal.
Setelah Tempo menurunkan serangkaian laporan investigasi mengenai pekerja China pada bulan September 2015 dan menyusul sejumlah temuan ratusan pekerja China mengerjakan proyek-proyek infrastruktur, isu ini kembali menghangat. Misalnya kasus 500 warga negara China yang bekerja di perusahaan pertambangan, PT Virtue Dragon Nikel Industri, di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara yang mencuat pada Juli 2016. Pemerintah tak bisa berbuat apa-apa karena keberadaan pekerja China itu adalah bagian dari nota kesepakatan investasi dengan perusahaan tersebut.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar meminta serikat pekerja agar mengarahkan protes kepada isi perjanjian utang luar negeri yang menggunakan perusahaan dan TKA serta material dari China. Pemerintah seharusnya mencari sumber utang luar negeri yang lain dapat memaksimalkan potensi tenaga kerja lokal.
Masuknya buruh China adalah bagian dari paket investasi perusahaan-perusahaan asal China dan pemberian utang luar negeri. Utang Indonesia ke China meningkat dari $8,55 miliar pada Januari 2015 menjadi $13,65 miliar pada Januari 2016. Terjadi peningkatan utang sebanyak 59 persen dalam masa satu tahun.
Investasi dari Tiongkok
Pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pemerintah China menjadikan Indonesia sebagai wilayah tujuan investasi utamanya. Permintaan ini tak pernah dipenuhi oleh pemerintah China selama SBY berkuasa. Memasuki tahun 2016, barulah investasi dari China meningkat tajam. China yang sebelumnya hanya berada di posisi 10 investasi di Indonesia, naik ke posisi empat dengan nilai investasi $464,59 juta di 339 proyek yang menyerap 10.167 pekerja Indonesia.
Realisasi investasi di Indonesia Triwulan 1 2016, BKPM. |
Di posisi teratas masih dipegang oleh investor asal Singapura, Jepang dan Hong Kong yang masing-masing menyerap 55.545 orang, 28.377 orang dan 6.165 orang pekerja Indonesia.
Sektor investasi yang paling diminati investor China adalah smelter (pabrik pengolahan mineral), electronic appliances (barang elektronik rumah tangga), infrastruktur, dan industri minuman. China sebagai negeri produsen barang-barang elektronik murah harus memastikan bahan baku demi kelangsungan produksinya.
Globalisasi produksi membagi pekerja terampil dan pekerja tidak terampil dalam skala global di mana pekerja terampil mengelompok di negeri-negeri dunia pertama, sedangkan pekerja yang tidak terampil mengelompok di negeri-negeri dunia ketiga. Di sinilah modal China memegang peranan sebagai produsen berbiaya rendah yang paling berkembang di antara negeri-negeri dunia ketiga.
Perusahaan-perusahaan manufaktur di China bekerja melayani pesanan dari perusahaan-perusahaan yang lebih besar asal AS dan Eropa. Perusahaan-perusahaan asal AS dan Eropa kini berfokus pada desain, pemasaran dan manajemen serta mengalihkan produksi manufaktur ke perusahaan lain yang mampu menekan biaya produknya. Hak paten, khususnya dalam teknologi, memegang peranan besar dalam kelangsungan dominasi perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Hal ini juga menjelaskan mengapa investasi dalam bidang smelter menjadi penting. Pabrik-pabrik asal China beroperasi menambang ore (biji mineral) tanpa membangun pabrik smelter. Akibatnya, industri hilir pertambangan di Indonesia tidak berkembang. Indonesia merupakan pemasok nikel dan bijih besi terbesar ke China. Meskipun sebetulnya terbitnya UU Minerba pada 2009 telah menetapkan kewajiban pembangunan pabrik smelter yang efektif dilaksanakan per Januari 2014.
Setelah adanya penegasan-penegasan dari pemerintah Indonesia, akhirnya modal China terpaksa membangun pabrik smelter. Hal ini juga berkontribusi bagi meningkatkan investasi modal China di Indonesia.
China memiliki masalah kependudukan sebagai berpenduduk terbesar. Ada 1,3 milliar penduduk di mana 937,27 juta di antaranya adalah angkatan kerja. Di negeri ini juga mengalami kekhawatiran meningkatnya angka pengangguran. Lapangan kerja yang tersedia menurut Biro Statistik China (NBS) mencapai 775 juta. China sendiri menampung 277 juta pekerja migran di negerinya.
Jadi, China sendiri tak punya banyak pilihan selain membawa pekerja “kasar” dalam proyek-proyek infrastruktur dan investasinya. Cara ini juga dinilai lebih praktis karena tak perlu melatih pekerja baru, termasuk tukang masak baru yang belum tentu masakannya sesuai dengan selera para pekerja China.
Pekerja China Ilegal?
Pendapat lain yang berkembang juga adalah kedatangan pekerja asing tak masalah selama tak melanggar hukum dan ketentuan yang berlaku.
Pada 29 Juni 2015, Kemnaker menerbitkan Permenaker No. 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang sekaligus mencabut peraturan sebelumnya Permenaker No. 12 Tahun 2013. Dalam peraturan ini, pemerintah tidak lagi mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia bagi pekerja asing.
Pasal 42-47 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur pekerja asing hanya dibolehkan untuk waktu tertentu dan jabatan tertentu. Secara eksplisit, jabatan yang dilarang adalah jabatan di bidang personalia dan jabatan tertentu. Kepmenaker No. 40 tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing menetapkan 19 jabatan personalia yang dilarang bagi pekerja asing. Sampai saat ini belum ada aturan yang melarang pekerja asing bekerja sebagai operator produksi.
Persoalan pekerja ilegal di Indonesia sudah sejak lama terjadi, jauh sebelum adanya isu serbuan 10 juta pekerja Tiongkok atau melonjaknya investasi China. Masalah ini juga dirasakan oleh negeri-negeri tetangga seperti Malaysia. Judul masalah ini seharusnya adalah “pekerja ilegal” tanpa menyasar etnis tertentu.
Sebagai catatan, pekerja “legal” atau “ilegal” adalah produk hukum yang dibuat oleh negara. Seseorang yang hendak bekerja di negeri lain dirintangi oleh batas-batas negara dan aturan hukum. Tanpa memenuhi prosedur yang ditetapkan negara, maka status orang tersebut menjadi ilegal. Saat negara belum ada, seseorang bebas berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa hambatan hukum keimigrasian. Yang merintangi manusia adalah hambatan tidak tersedianya teknologi transportasi yang maju.
Namun, di jaman sekarang di mana mobilitas manusia semakin tinggi karena ketersediaan teknologi, perpindahan itu menjadi sukar karena batas-batas negara dan kondisi ekonomi. Pun manusia sudah mewacanakan globalisasi. Namun, masyarakat kita meyakini adanya keterbatasan sumber daya, termasuk keterbatasan pekerjaan, yang tidak memungkinkan semua manusia yang produktif untuk bekerja di mana saja.
Masalah pengangguran di Indonesia menjadi alasan menolak pekerja asing. Meskipun kita sendiri mengirimkan jutaan tenaga kerja setiap tahunnya keluar negeri. Kondisi ekonomi menunjukan kekayaan orang-orang terkaya di dunia terus meningkat, sementara jam kerja kelas pekerja di negeri-negeri dunia ketiga semakin panjang. Di Indonesia, satu persen orang terkaya menguasai 50 persen kekayaan. Sedangkan, pekerja harus menambah jam kerja 2-3 jam per hari untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang disebut upah lembur.
Ketimbang saling berebut pekerjaan, seharusnya ada cara untuk berbagi jam kerja di antara sesama kelas pekerja dengan cara mengurangi jam kerja buruh dan mengurangi keuntungan yang terlalu tinggi yang diraup oleh pengusaha.