Serikat Buruh Kuning

0

Jafar Suryomenggolo*

buruh pabrik pengolahan kelapa
Buruh di pabrik pengolahan kelapa, Sukur, Minahasa
Sumber: Tanah Air Kita (The Hague/ Djakarta,1963)

Di Indonesia, istilah “ serikat buruh kuning ” kerap dipergunakan di tahun 1980-an sampai akhir 1990-an. Istilah ini umumnya merujuk pada serikat buruh bentukan pemerintah. Serikat buruh yang semata-mata menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Yang dimaksud tak lain tentunya adalah Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI).

Kebetulan pula, pada masa zaman Suharto itu, partai yang berkuasa adalah Golkar. Disimbolkan sebagai partai beringin, Golkar memiliki warna dasar kuning. Dan juga, FSPSI merupakan salah satu pendukung utama Golkar. Para pimpinan FSPSI adalah (dan harus menjadi) anggota partai Golkar.

FSPSI sebagai serikat buruh kuning dianggap tidak mandiri. Ini karena FSPSI tidak membela kepentingan buruh anggota. Malah yang terjadi, membungkam dan menekan buruh anggota. Terlebih, bila ada buruh anggota yang menuntut dan protes.

Pemerintah otoriter Suharto, lewat hubungan industrial Pancasila (HIP), mengharamkan pemogokan buruh. Karena itu pula, FSPSI tidak pernah merestui pemogokan buruh. Pemogokan buruh dianggap melanggar keharmonisan Pancasila. Serikat buruh kuning menjadi kaki-tangan pemerintah.

Dibentuk pengusaha

Sesungguhnya, istilah “ serikat buruh kuning ” tidak sebatas itu. Istilah ini awalnya datang dari Perancis, disebut “syndicats jaunes” (syndicats artinya serikat buruh; jaunes artinya kuning). Kata “kuning” sengaja dipilih sebagai lawan tanding “merah”. Maklum, istilah ini muncul di awal abad 20.

Pada masa awal abad 20 itu, serikat buruh gerakan komunis dan sosialis mulai naik panggung politik dan relatif menjadi lebih kuat. Gerakan “serikat buruh merah” ini mulai menyapu dataran Eropa.

Ketakutan menghadapi situasi ini, kelompok pengusaha membentuk “serikat buruh kuning” sebagai tandingannya. Jadi, “serikat buruh kuning” pada mulanya merujuk pada serikat buruh yang dibentuk pengusaha, untuk melindungi kepentingan bisnisnya. Serikat buruh ini semata-mata menjadi kaki-tangan dan cecunguk pengusaha agar buruh tidak berani menuntut hak dan kepentingannnya.

Hal ini tentu berbeda dengan situasi Indonesia. Di masa zaman Suharto, pemerintah menjadi pengendali utama. Kelompok pengusaha belum kuat dan masih menetek pada pemerintah. Oleh karena itu, serikat buruh kuning dibentuk oleh pemerintah – bukan oleh pengusaha, untuk melindungi kepentingan pemerintah yang otoriter dalam menciptakan buruh penurut yang murah.

Tuntutan kecil-kecil

Tapi ini bukan berarti kita tidak mengenal “serikat buruh kuning”. Di tahun 1948, S.K. Trimurti, seorang penggiat buruh pada masa itu, sudah mengenal hal ini juga. Istilah yang ia pakai adalah “serikat buruh reformistis”.
Apa yang ia maksud dengan “serikat buruh reformistis” ini bisa kita baca berikut ini:

Serikat buruh jang reformistis tidak membahajakan kedudukan kaum kapitalis. Serikat buruh jang demikian ini malah sering mendapat sokongan dari pihak kapitalis. Tuntutan ketjil-ketjil, oleh pihak kapitalis jang modern, memang sering dikabulkan, perlunja untuk meredakan tuntutan buruh, untuk membikin puas hati kaum buruh, agar supaja tidak menuntut jang lebih besar…

“Serikat buruh reformistis” merupakan kaki-tangan pengusaha. Serikat buruh ini berpikir pendek, sebab hanya berani menuntut yang kecil-kecil saja. Ini tentunya, agar pengusaha tetap menang.

“Serikat buruh reformistis” dilawankan dengan “serikat buruh revolusioner”. Serikat buruh revolusioner memikirkan lebih luas dan mendalam, karena menuntut perubahan yang mendasar, keadilan dan kesejahteraan bagi semua.

Kata “reformistis” ini tentu sedikit berbeda dari kata “reformasi” yang kita kenal sejak 1998. Walau, keduanya memiliki akar kata yang sama. Serikat buruh yang muncul dan lahir usai Reformasi 1998 tentu bukan “serikat buruh reformistis”. Ataukah, justru pengalaman selama 17 tahun terakhir ini, malah membuktikan ada kesamaan dengan ciri ini? Tentu rekan pembaca bisa jawab sendiri hal ini.

Maksud politik yang gelap

Di tahun akhir 1950-an sampai awal 1960-an, kita juga mengenal istilah yang lain. Pada masa itu, pidato-pidato Sukarno memiliki daya pikat yang kuat. Sering juga, kata-kata yang diucapkannya menjadi kata kunci dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga, dalam kehidupan politik.

Pada masa itu, serikat buruh bisa tumbuh subur. Dan juga, datang dari beragam latar belakang politik. Pemerintah tidak ikut campur di dalamnya, tidak menghambat dan tidak juga membentuk serikat buruh pilihannya.
Latar belakang politik yang berbeda mendorong serikat buruh bersaing satu sama lain, dan sering juga menyudutkan pihak lawan. Persaingan antar serikat buruh cukup kental.

Istilah yang dipakai pada masa itu adalah “subversif dan kontra-revolusioner”. Kadang juga, “anasir reaksioner”. Ini semua tentu berdasarkan retorika pidato Sukarno.

Pada masa itu, istilah “serikat buruh kontra-revolusioner” atau “serikat buruh reaksioner” punya arti negatif. Sebagai contoh, dari arsip sejarah, bisa disebut sebagai berikut:

(mereka) adalah anti-persatuan. Ini ternjata dalam perajaan 1 Mei jang mereka rajakan setjara sendirian, tidak mau bersama-sama dengan SB-SB lainnja. Malahan perajaan 1 Mei jang mereka adakan itu disatukan dengan rapat partai politik…
….bahwa sedikitpun tidak ada kesungguhan untuk membela kaum buruh, bahkan sebaliknja untuk memperkuda kaum buruh guna mentjapai maksud-maksud politiknja jang gelap.

Jadi, serikat buruh yang demikian ini malah menentang persatuan buruh, dan memanfaatkan kaum buruh demi kepentingan politiknya. “Serikat buruh kontra-revolusioner” selalu anti-pemerintah dan tidak mendukung program pemerintah. Ini karena mereka punya “maksud politik yang gelap”. Adakah kesamaan dengan serikat buruh zaman sekarang?

Zaman sekarang

Jadi, kita mengenal bermacam-macam istilah di dalam sejarah pergerakan buruh. “Serikat buruh reformistis” di tahun 1940-an. “Serikat buruh kontra-revolusioner” di tahun 1950-an sampai awal 1960-an. “Serikat buruh kuning” di tahun 1980-an sampai akhir 1990-an.

Semua istilah ini tentu terkait dengan situasi zamannya. Artinya, bagaimana hubungan gerakan buruh, pengusaha dan pemerintah pada masa tertentu. Kita tentu bisa belajar dari pengalaman sejarah kita sendiri, agar lebih berhati-hati.

Namun sayangnya, di awal abad 21 ini, kita masih menemukan serikat buruh yang hanya mementingkan “tuntutan kecil-kecil” yang tidak membahayakan kepentingan pengusaha, dan juga memanfaatkan kaum buruh “untuk maksud politiknya yang gelap.”

Pengusaha zaman sekarang tentu relatif lebih kuat daripada pengusaha di tahun 1980-1990-an. Pemerintah zaman sekarang tentu berbeda dari pemerintah di zaman 1950-1960-an dan juga, pemerintah otoriter di zaman Suharto. Semoga serikat buruh zaman sekarang bisa menjadi lebih baik daripada sekedar menjadi “reformistis”, atau “kontra-revolusioner”, ataupun “kuning”. Bagaimana menurut rekan pembaca?

* Penulis adalah pemerhati perburuhan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *