Serikat Buruh usai 1965

anggota sobsi ditangkap di tanjung priok
Anggota SOBSI ditangkap di Tanjung Priok. (Foto ANP: Kantor Berita Belanda).

(Jafar Suryomenggolo*)
Tahun 2015 menandakan 50 tahun peristiwa berdarah 30 September 1965. Apa yang terjadi pada malam itu adalah pembunuhan atas 11 orang. Mereka adalah: 6 orang jenderal Angkatan Darat, 1 orang perwira menengah, seorang putri berusia 5 tahun (Ade Irma Nasution), seorang inspektur polisi (K.S. Tubun, pengawal Leimena) – semuanya di Jakarta, dan 2 orang perwira menengah di Yogyakarta.

Namun, yang terjadi sesudah itu adalah pembunuhan atas ratusan ribu orang. Tidak ada angka pasti soal ini. Beberapa penelitian menyebut 300 ribu sampai 500 ribu jiwa. Sementara laporan resmi yang disusun Kopkamtib di tahun 1966 menyebut 1 juta jiwa.

Dalih

Mengapa banjir darah itu bisa terjadi? Ada banyak hal yang menjadi sebab. Hal ini sudah pula diulas banyak laporan. Namun yang utama, ada kesan bahwa pembunuhan atas 11 orang tersebut menjadi alasan untuk membenarkan pembunuhan atas sekian ratus ribu orang.

Oleh karena itu pula, John Roosa, seorang peneliti sejarah 1965, memberikan tafsir yang menarik. Menurutnya, peristiwa berdarah 30 September 1965 dijadikan dalih untuk banjir darah itu.

Apa yang terjadi pada malam 30 September 1965 memang penting. Sebelas orang yang tak bersalah memang telah dibunuh. Namun, apa yang terjadi sesudahnya itu tidak kalah penting. Malah mungkin, lebih punya dampak yang sangat besar dan dalam.

Sebab, apa yang terjadi pada masa itu lazim disebut sebagai “3B”. Yaitu: Bui, Buang, Bunuh. Jadi, bukan hanya pembunuhan atas sekian ratus ribu orang. Tapi juga, ada banyak yang dibui dan dibuang. Dibui di dalam penjara di seantero negeri – tanpa ada persidangan. Dibuang ke Pulau Buru selama bertahun-tahun. Penulis Pramoedya Ananta Toer menghabiskan masa 14 tahun dibui dan juga, dibuang di pulau Buru.

Juga, “3B” bukan hanya menimpa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi lain yang terkait. Melainkan juga, orang biasa yang sama sekali tidak ada hubungan.

Begitu dituduh “terlibat”, jangan harap bisa hidup bebas. Sekalipun, sesungguhnya bukan anggota PKI ataupun tidak mengerti pertarungan politik masa itu. Para petani yang tanahnya diambil jurangan tanah. Para penari yang kebetulan pernah sekali ikut acara perayaan ulangtahun partai. Juga, para istri yang sama sekali buta politik. Lihat misalnya kisah Djemilah.

Nasib SOBSI

Organisasi buruh yang terbesar pada itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), juga tidak lepas dari jala “3B”. SOBSI dianggap “terlibat” di dalam peristiwa 30 September 1965. Ini karena kedekatan SOBSI dengan PKI.

Jala “3B” menimpa semua pengurus pusat SOBSI. Banyak yang dibunuh, banyak pula yang dibui dan dibuang. Kisah Sri Ambar Rukmiati mungkin bisa dijadikan contoh. Sri Ambar adalah ketua departemen perempuan SOBSI. Dia juga salah satu perempuan yang duduk dalam Dewan Nasional SOBSI.

Sri Ambar ditangkap 9 bulan setelah peristiwa 30 September 1965, dan ditahan di penjara Kalong. Selama itu, dia disiksa berat. Ditelanjangi dan dipukuli. Ibunda dan kedua anaknya juga ditahan, dan mereka disiksa di hadapannya.

persidangan februari 1975
Keterangan foto: Persidangan Februari 1975. Dari kiri ke kanan: Suharti Harsono, Sri Ambar Rukmiati, Sudjinah dan Sulami. Sumber: TAPOL, 1975

Baru di tahun 1975 Sri Ambar dibawa ke meja hijau, bersama dengan tiga penggiat perempuan lainnya. Persidangan yang pertama dan satu-satunya bagi mereka. Tanpa ada pembelaan diri, Sri Ambar dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun.

Nasib SBKA

Pada masa tahun 1964-1965, SOBSI memiliki 62 serikat buruh afiliasi. Salah satu yang terkuat adalah Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Anggota SBKA juga kena jala “3B”.

Apa yang terjadi pada SBKA cukup sistematis. Bulan Oktober 1965 perusahaan kereta api langsung berada di bawah pengawasan militer, yaitu KOSTRAD (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat). Seketika juga dibentuk “tim screening”. Yaitu, menyelidiki semua buruh kereta api dan keterlibatan mereka dalam organisasi SBKA.

Dari seluruh jumlah 83.913 orang buruh kereta api, ada 51.810 orang buruh anggota SBKA. Semua anggota ini diselidiki olah “tim screening” tersebut. Satu per satu. Tak jarang pula, banyak yang langsung dibui – tanpa ada pembelaan diri.

Namun, hal ini punya akibat yang besar. Sebab, tanpa ada buruh maka kereta api tidak bisa jalan. Terutama pada masa itu, kereta api adalah transportasi utama. Oleh karena itu, banyak buruh kereta api yang sudah dibui, diteliti kembali.

Dari sejumlah itu, 46.876 orang (55 persen!) dipekerjakan kembali setelah melewati masa “karantina”. Lamanya masa “karantina” ini bisa 3 bulan atau malah, 1 tahun. Selama masa “karantina” itu pula mereka dikenakan wajib lapor tiap minggu. Juga, mereka tidak digaji. Mereka juga diturunkan statusnya atau dimutasi.

Sementara sisanya, 4.934 orang langsung dipecat. Mereka dibui dan dibuang. Beberapa dari mereka yang masih hidup usai dibui dan dibuang ini, menjalani masa tua dalam keheningan. Mereka dikenakan wajib lapor tiap minggu. KTP tetap ditandai “ET”, yakni: Eks-Tahanan Politik. Memiliki paspor tidak diperbolehkan.

Gerakan buruh dikangkangi

Jadi jelaslah bahwa apa yang terjadi sesudah peristiwa 30 September 1965, punya dampak yang besar dan dalam. Apa yang terjadi sungguh merupakan tragedi bagi bangsa kita.

Mungkin sebagian pembaca merasa apa yang terjadi adalah “lumrah”. “Lumrah” karena terjadi pada anggota PKI, anggota SOBSI, anggota SBKA – mereka semua adalah “orang-orang kiri”.

Jelas, ini pikiran yang keliru. Sebab, sekali lagi: banyak korban yang bukan anggota PKI, anggota SOBSI ataupun anggota SBKA. Banyak korban adalah orang biasa yang buta politik. Begitu dituduh “terlibat” maka jala “3B” siap menerkam. Ini pula menjadi dalih untuk menghabisi.

Hal ini juga terjadi pada mereka yang bukan termasuk “orang-orang kiri”. Organisasi serikat buruh lain di luar SOBSI juga terkena. Usai itu, semua organisasi buruh dibekukan – tak terkecuali. Oleh karena itu pula, gerakan buruh menjadi mati suri.

Apa yang terjadi sesudahnya, kita semua sudah paham. Gerakan buruh berada dalam kungkungan rejim otoriter Orde Ba(r)u. Kebebasan berorganisasi tidak ada.

Dengan demikian, peristiwa 30 September 1965 punya dampak yang besar bagi gerakan buruh keseluruhan. Mengabaikan sejarah kelam ini malah hanya akan mengaburkan arah perjuangan buruh. Gerakan buruh punya jurang sejarah yang cukup dalam. Dan bagi kita yang hidup di masa kini, jurang tersebut perlu dijembatani dengan kebersamaan dan kesungguhan.

Tinggalkan Balasan