Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan manajemen PT Freeport Indonesia terhadap 8.300 buruh pemogok kerja (moker) hingga tahun 2020 tidak kunjung ditindak oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) sehingga menimbulkan kesan korporat ini kebal hukum. Hal ini disampaikan oleh Antonius Awom, buruh moker PT Freeport Indonesia, dan Emanuel Gobay, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, dalam diskusi online atau dalam jaringan (daring), Minggu (26/7/2020).
Antonius menjelaskan bahwa kasus ini bermula di tahun 2017 saat terjadi tarik ulur menyangkut kepemilikan perusahaan antara pemerintah dengan PT Freeport. Pada tanggal 11 Januari 2017, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 mengenai ketentuan divestasi yang mewajibkan perusahaan melepaskan 51% sahamnya secara bertahap setelah lima tahun beroperasi. Freeport tidak bersedia berunding dengan pemerintah dan membawa permasalahan ini ke arbitrase.
“Akibat dari sikap Freeport yang tidak ingin berunding dan ingin memecat karyawan, maka ditanggapi oleh serikat. Serikat pada waktu itu meminta dilakukan perundingan karena ini suatu kondisi yang tidak cukup baik untuk pekerjaan. Pemerintahan berunding ini disampaikan berulang kali ke pihak manajemen tapi tidak ditanggapi,” kata Antonius.
Di saat yang sama, pihak manajemen ingin menjalankan program efisiensi dalam bentuk furlough, sebuah kebijakan yang tidak dikenal dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia. Program ini mirip dengan arisan, yang memilih nama pekerja secara acak, untuk dirumahkan. Tidak ada kriteria yang jelas dari segi umur, kondisi fisik dan kriteria lainnya.
Karena itulah, serikat mengajukan perundingan, namun tidak disetuju oleh manajemen. Karyawan mulai dipulangkan, kemudian pemulangan ini terjadi setiap hari. Buruh bekerja dalam kondisi yang tidak pasti.
“Semua orang berpikir, ‘besok pasti saya yang dipecat, kalau tidak besok maka minggu ini, kalau tidak minggu ini maka minggu depan.’ Artinya kondisi ini membuat semakin tidak nyaman sekali. Karena situasi tidak nyaman itu maka teman-teman mulai aksi protes,” terang Antonius lagi.
Pekerja melakukan protes yang terjadi sampai hari ini, yang dianggap oleh perusahaan sebagai hal yang bertentangan dengan peraturan. Sedangkan, pekerja melihat hal ini sebagai akibat dari tidak ditaatinya peraturan.
“Dengan kita terus melakukan aksi, perusahaan menganggap kita tidak mematuhi peraturan. Perusahaan kemudian melakukan pemanggilan. Kita melakukan mogok ini sah. Perjuangan ini terus berlangsung dengan dua pendapat berbeda. Perusahaan menganggap mogok ini tidak sah, kita menganggap mogok ini sah,” tekannya.
Sayangnya tanpa putusan hukum dan tanpa kesepakatan semua pihak, manajemen Freeport bereaksi secara ekstrem dengan mengambil langkah-langkah sewenang-wenang terhadap para buruh.
“…perusahaan kemudian melakukan langkah-langkah lebih ekstrem lagi untuk menekan karyawan agar kembali bekerja. Manajemen menganggap kita mangkir dan kemudian melakukan pemblokiran terhadap BPJS kita, gaji, dan langkah-langkah di luar prosedur yang seharusnya,” lanjutnya.
Menanggapi itu, Emanuel Gobay, menjelaskan bahwa perusahaan salah dalam menganggap mogok kerja buruh sebagai tindakan tidak sah.
“Pertama, yang perlu saya tegaskan itu mogok kerja yang dilakukan oleh Buruh Freeport sejak 1 Mei 2017 sampai saat ini itu telah dilakukan sesaui dengan mekanisme mogok kerja yang diatur pada pasal 140 ayat 1 dan 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sahnya mogok kerja tersebut, itu tercermin dari pernyataan yang disebutkan oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika pada tahun 2017 lalu yang berikutnya itu juga dikuatkan oleh surat Dinas Ketenagakerjaan pada tahun 2018 yang sama menyebutkan bahwa mogok kerja 8.300 buruh itu sah,” beber Emanuel.
Selanjutnya dikuatkan lagi oleh Surat Gubernur Papua yang mengeluarkan berdasarkan Surat Disnaker Kepala Dinas Tenaga Kerjaan tahun 2018 yang menyebutkan di dalamnya bahwa mogok kerja yang dilakukan 8.300 buruh Freeport itu sah. Dengan demikian maka berkaitan dengan mogok kerja yang dilakukan 8.300 buruh Freeport itu sah dan dijamin UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena mogok tersebut sah maka selanjutnya sudah harus kita pandang ini adalah gerakan legal yang dilakukan buruh, khususnya 8.300 buruh Freeport itu.”
Ia melanjutkan, “Perlu kita ketahui juga bahwa alasan yang menjadi dasar mogok kerja sesuai dengan UU itu karena gagalnya perundingan. Nah, kalau kita melihat persoalan buruh Freeport dan mogok kerja tentang apa yang menjadi dasar mogok ini itu terlihat jelas seperti yang tadi sudah dijelaskan menyangkut kebijakan furlough yang tidak diatur UU 13 tahun 2003 yang kemudian dilakukan Freeport terhadap buruhnya. Itu menjadi dasar awal materi perundingan, yang dalam perundingannya tidak mendapatkan titik temu. Akibat tidak mendapatkan titik temu itulah kemudian 8.300 buruh Freeport kemudian mengirimkan surat kepada perusahaan dan juga mengirimkan surat kepada Dinas Ketenagakerjaan sebelum tujuh hari mogok kerja dan kemudian mogok kerja. Mogok kerja itu mereka masih lakukan sampai saat ini, sejak tanggal 1 Mei 2017.”
Berikutnya, buruh pemogok melalui serikat telah melaporkan dugaan pelanggaran norma ketenagakerjaan yang dilakukan Freeport ini ke Dinas Ketenagakerjaan. Atas dasar pengaduan pertama itu yang melahirkan surat Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi yang tadi salah satu poinnya menyebutkan mogok yang dilakukan sah. Poin berikutnya adalah furlough tidak dijamin UU 13 tahun 2003. Poin berikutnya memerintahkan kembali kepada PT Freeport untuk mempekerjakan kembali sebanyak 8.300 buruh Freeport. Surat itulah yang menjadi dasar Gubernur menerbitkan surat.
Dengan demikian maka dugaan pelanggaran norma ketenagakerjaan sudah jelas terlihat di sana. Selanjutnya pada tahun 2019 Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua menerbitkan surat dinas kepada dua orang tenaga pengawas untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran norma yang dilakukan Freeport terhadap 8.300 buruh ini. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan kedua petugas pengawas ketenagakerjaan pada Desember tahun 2019, pengawas temukan ada pelanggaran norma ketenagakerjaan, dan mereka juga menemukan fakta berdasarkan bukti surat yang mereka temukan, bahwa mogok yang dilakukan sah.
Dengan demikian atas pemeriksaan itu lahirlah Nota Pemeriksaan pertama. Dalam Nota Pemeriksaan Pertama itu pengawas Disnaker Provinsi memerintahkan kepada PT Freeport Indonesia untuk menggugat 8.300 buruh yang mogok ke pengadilan hubungan industrial. Di poin keduanya sepanjang belum ada putusan PHI atas gugatan PT Freeport terhadap 8.300 buruh, maka hak-hak mereka sebagaimana dijamin dalam pasal 1 55 UU 13 tahun 2013 itu wajib dijalankan kedua pihak.
Pasal 155 itu menyebutkan tentang kewajiban dan hak dari buruh dan perusahaan. Artinya buruh tetap bekerja dan mendapatkan upah dan perusahaan wajib menjalankan itu selama belum ada putusan dari PHI. Hal itu ada di dalam Nota Pemeriksaan 1 yang diterbitkan oleh pengawas Disnaker Provinsi Papua per bulan Desember 2019.
“Berdasarkan hal-hal di atas, PT Freeport belum melaksanakan rekomendasi, maka PT Freeport sampai sekarang masih melakukan pelanggaran norma-norma ketenagakerjaan terhadap 8.300 buruh yang melakukan mogok secara sah,” jelas Emanuel.
Pengabaian Pemerintah dan PT Freeport Kebal Hukum
Pelanggaran norma-norma ketenagakerjaan Freeport terhadap para buruh itu sayangnya tidak mendapatkan penindakan hukum oleh pemerintah, sehingga bukan hanya para buruh moker mengalami pelanggaran HAM berlapis, namun pelakunya juga meningkat.
Menurut Emanuel Gobai, terdapat dua pihak yang tidak menaati hukum. Pertama, adalah PT Freeport yang tidak mematuhi ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bahkan jelas-jelas berdasarkan Nota pertama, Freeport jelas melakukan pelanggaran, namun tidak menjalankan dua rekomendasi tadi, seolah perusahaan ini kebal hukum.
Kedua, Pengawas Ketenagakerjaan yang tidak mengawasi PT Freeport untuk menjalankan nota pemeriksaan pertama dan tidak juga menerbitkan nota kedua. Hal ini membuktikan bahwa Pengawas tidak melaksanakan tugas pengawasannya. Pengawas juga tidak menerbitkan nota pemeriksaan kedua setelah 30 hari dari nota pemeriksaan pertama.
Dengan begitu, Pengawas Disnakertrans melakukan pelanggaran atas asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang menyalahi ketentuan UU No. 30 tahun 2017 tentang Administrasi Pemerintahan. Nah, atas fakta tersebut, semestinya si pengawas sudah harus diberi sanksi. Oleh karena itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan tingkat provinsi seharusnya memberikan sanksi terhadap para pengawas. Tapi karena tidak ada sanksi yang diberikan sampai saat ini maka kami kemudian bisa menyimpulkan bahwa Disnaker sebagai representasi pemerintah, telah melakukan tindakan pengabaian terhadap persoalan hak 8.400 buruh yang mogok itu.
Atas tindakan pengabaian itu, lagi-lagi menunjukkan bahwa pemerintah, baik pemerintah pusat dan juga pemerintah provinsi Papua serta pemerintah Kabupaten Mimika, telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap para buruh ini sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28 B Ayat 2 UUD 1945 dan juga pada aturan turunannya, yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Temuan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah terhadap 8.400 buruh Freeport ini disebutkan pada Pasal 28 B Ayat 2 UUD 1945 dan juga kewajiban perlindungan, pemenuhan, penegakan HAM adalah tanggung jawab negara melalui pemerintah sebagaimana yang diatur pada Pasal 28 I ayat 4 UUD 45. Melalui pasal tersebut, ditegaskan kepada negara melalui pemeirntah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten untuk melindungi. Namun adanya fakta pengabaian tersebut, membuat kami menyimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para buruh,” papar Emanuel.
Hal ini kemudian diperparah dengan munculnya kendala-kendala litigasi. Pihak buruh mengajukan permohonan fiktif positif ke pengadilan tata usaha negara. Namun, hakim pengadilan nampak belum paham terkait persoalan buruh dan perburuhan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003. Mungkin karena jenis permohonan fiktif positif ini terbilang baru ada tahun 2017.
Contohnya Majelis Hakim menyebut adanya “mangkir” dan “PHK”, tetapi tidak menyebutkan adanya “mogok kerja”. Padahal, dasar persoalan adalah mogok kerja 8.300 buruh Freeport. Penyebutan “mangkir” terhadap mogok kerja yang sah itu menunjukkan hakim belum paham. Beberapa fakta juga seharusnya tidak harus dibuka kembali oleh Freeport dalam persidangan, namun diberikan ruang oleh Majelis Hakim. Kenapa? Karena permasalahan tersebut sudah jelas tertera dalam nota pemeriksaan yang telah diajukan sebagai bukti di pengadilan.
Adanya indikasi praktik gratifikasi atau penyuapan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak buruh menggugat Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua, sehingga seharusnya dinas ini diwakili oleh biro hukum atau pengacara negara. Tetapi, Disnaker justru menggunakan advokat yang berlatar belakang pernah menjadi pengacara Freeport.
Advokat bukannya menghadirkan pengawas sebagai saksi, tetapi justru menghadirkan karyawan Freeport untuk menggali sejumlah fakta kepada saksi-saksi tersebut. Ada pihak yang jelas-jelas menyebutkan bahwa dirinya diminta atasannya di manajemen PT. Freeport untuk menghadap ke pengacara tersebut.
Yang terjadi kemudian, proses hukum acara di pengadilan tata usaha negara (PTUN) lebih terasa seperti pengadilan hubungan industrial, karena yang digali adalah materi, bukan hukum tata cara atau formil penegakan hukum. Rasanya lebih seperti menghadapi Freeport di PHI daripada menghadapi Disnaker di PTUN.
Jadi, tidak salah jika ada kesimpulan bahwa persoalan ini tidak murni lagi sebagai persoalan hukum, tetapi adanya persoalan politik di mana Freeport sebagai salah satu perusahaan di Indonesia yang paling dilindungi, menjadi “kebal hukum”. Jika tidak ada tebang pilih, Freeport seharusnya telah menerima 8.300 buruh untuk bekerja kembali sesuai dengan nota pengawas. Hal itu tidak terjadi, karena lemahnya penegakan hukum pemerintah.
Konflik antara pemerintah dan Freeport dalam perebutan penguasaan tata kelola sumber daya alam di Tembaga Pura menjadi awal dari PHK ini. Pemerintah ingin menguasai pengelolaan sumber daya alam, begitu juga Freeport, namun yang menjadi tumbal adalah buruh. Pemerintah maupun Freeport sama-sama tidak mau tunduk pada UU No. 13 Tahun 2003.
Kondisi Buruh Pemogok
Pelanggaran HAM Freeport para pemogok kerja dan pengabaian pemerintah demikian membuat kondisi buruh Freeport semakin memprihatinkan. Bahkan banyak korban meninggal. Menurut Antonius jumlah buruh yang meninggal dunia sebelum terbitnya nota pertama telah mencapai 57 orang.
“Ada teman-teman buruh yang sakit, namun kemudian berobat tidak bisa. Bayangkan saja, pakai BPJS tidak bisa,” kata Antonius.
Dampak lain adalah menurunnnya pendapatan untuk keluarga. Ketika buruh dikenai PHK, yang terkena dampak juga istri dan anak-anaknya.
“Ada yang tinggal anaknya saja. Bapaknya (buruh Freeport) sudah meninggal, lalu ibunya juga meninggal. Coba bayangkan saja… bagaimana masa depannya? Anak ini masih kecil, masih SD,” tambah Antonius.
Sejumlah buruh juga dilaporkan mengalami tekanan mental (stres), keluarga berantakan, perceraian, anak putus sekolah dan penderitaan lainnya akibat kehilangan mata pencaharian secara mendadak.
Langkah Perjuangan ke Depan
Emanuel Gobai menjelaskan bahwa ke depannya terdapat kemungkinan menggunakan jalur hukum internasional untuk melanjutkan perjuangan para buruh pemogok kerja ini dalam menuntut hak-haknya.
“Kebijakan furlough itu tadi itu kan kebijakan ketenagakerjaannya Amerika yang dipakai manajemen Freeport untuk kemudian diberlakukan di PT Freeport Indonesia yang seharusnya tunduk pada UU No. 13 tahun 2003 di mana dalam UU tersebut tidak mengenal kebijakan furlough tadi. Nah, hari ini kita sedang menempuh dalam konteks upaya hukum nasional dalam rangka tidak tunduknya PT Freeport terhadap UU 13 tadi. Bisa saja untuk nanti kita akan menempuh menggunakan mekanisme hukum internasional berkaitan dengan kebijakan ketenagakerjaan Amerika tadi,” jelasnya.
Lebih lanjut Emanuel Gobai mengungkap bahwa sebelumnya sudah pernah ada kasus dimana Freeport digugat di negara asalnya, yaitu tentang kasus perusakan lingkungan. Gugatan mengenai masalah ketenagakerjaan, patut dicoba.
Namun di luar perjuangan litigasi, baik Emanuel Gobai maupun Antonius Awom sama-sama mengemukakan bahwa diperlukan solidaritas luas dari buruh pada khususnya maupun rakyat pada umumnya.
“Saya yakin apabila gerakan buruh secara internal dan didukung solidaritas dari belakang oleh para buruh lainnya serta gerakanpgerakan pro-demokrasi lainnya akan mampu mendapatkan capaian tertinggi dari gerakan ini,” kata Emanuel Gobai dalam pernyataan penutupnya.***
(Penulis adalah aktivis yang tinggal di Malang)