Setelah Laporkan Buruh Pakai Pasal ITE dan Dikeroyok, Pengusaha PT. Trimitra Chitrahasta Kini Gugat Lagi Buruh di PHI

Buruh Trimitra saat berdemo di depan Yamaha, 16 November 2019

Bekasi – Pengusaha PT. Trimitra Chitrahasta melayangkan gugatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Anwar Supandi dan tujuh kawannya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Bandung, Jawa Barat. Menghadapi gugatan, kedelapan buruh itu memutuskan untuk maju sendiri sebagai tergugat melawan perusahan pemasok Yamaha tersebut.

Kasus ini bermula dari Anwar Supandi dkk mempermasalahkan hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mereka nilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum Ketenagakerjaan yang berlaku. Sebelumnya, buruh telah melakukan perundingan bipartit, namun tidak tercapai kesepakatan.

Buruh juga berusaha melaporkan permasalahan ini ke Yamaha sebagai costumer (pelanggan) PT. Trimitra yang terbesar, alasannya, karena Yamaha memiliki kode etik (code of conduct) yang isinya meminta agar pemasoknya tidak melakukan diskriminasi terhadap pekerja dan meminta perusahaan pemasok mematuhi hukum ketenagakerjaan yang berlaku di suatu negeri dimana perusahaan tersebut beroperasi.

Sempat Anwar Supandi itu mengunggah di facebook sebuah poster yang dibawahnya ada sebuah komentar yang mengatakan bahwa   “PT. Trimitra Chitrahasta melanggar UU No.13 Tahun 2003 perihal PKWT kami”.

Hal ini kemudian dilaporkan oleh pengusaha ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)  serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Buruh juga dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak tanggal 18 September 2019 lalu.

PHK itu, menurut dugaan Damiri, pengurus Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), sebagai pelanggaran HAM. PHK itu dinilai tidak sah, “Karena belum ada putusan pengadilan pidana yang menyatakan bahwa buruh bersalah melakukan pencemaran nama baik. Itu pertama, yang kedua, ketika buruh berkomentar bahwa PT. Trimitra melakukan pelanggaran sebenarnya buruh tidak bisa di pidana karena Trimitra adalah badan hukum, bukan orang.”

Damiri mengatakan, dalam delik pencemaran nama baik yang menjadi korban pencemaran nama baik adalah selalu orang bukan perusahaan berbadan hukum.  Cuma orang yang memiliki nama baik dan kehormatan, sementara badan hukum/perusahaan itu tidak memiliki nama baik.

“Sehingga dalam kasus ini bahwa kami yakin bahwa buruh tidak pernah melakukan pencemaran nama baik terhadap perusahaan karena perusahaan itu bukan naturalis person,” ujarnya kepada Solidaritas.net, Jumat (27/3/2020).

Kasus itu sudah diperiksa beberapa kali dan sampai sejauh ini buruh masih berstatus sebaga saksi. Kemudian, disaat proses di Kepolisian berjalan, proses mediasi di Disnaker juga berjalan.

Terkait mediasi Damiri mengatakan, pada tanggal 19 Desember 2019, Disnaker Bekasi akhirnya mengeluarkan anjuran nomor 565/B194/Disnaker yang menyatakan agar hubungan kerja Anwar Supandi dkk buruh lainnya dengan pengusaha PT. Trimitra yang semula didasarkan pada PKWT demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) atau pekerja tetap terhitung sejak terjadinya hubungan kerja.

Anjuran Disanker dengan pertimbangan mengutip Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur pelaksanaan PKWT yang intinya pekerjaan buruh di bagian Welding dan Stamping bukan merupakan pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya bersifat sementara dan musiman

“Mengingat pekerjaan/bagian welding dan bagian stamping, sebagaimana disampaikan dalam keterangan pekerja/kuasa pekerja huruf B angka 5 merupakan sektor produksi yang tidak terpisahkan dari kegiatan utama,” tulis Disnaker dalam anjuran itu.

Dalam Pasal 59 ayat (7) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, atau PKWTT.

“Jadi jelas bahwa di situ Disnaker mengajurkan status buruh seharusnya PKWTT karena bidang-bidang kerja yang dikerjakan oleh buruh itu bagian kerja yang bersifat tetap, yang tidak boleh di kontrak, karena hubungan kerja sudah berubah,” terang Damiri lagi.

“Kita sudah punya dua anjuran, anjuran pertama soal PKWT yang menyatakan bahwa buruh harus dipekerjakan sebagai karyawan tetap dan yang kedua, bahwa buruh itu tidak boleh dikenai PHK, bahwa buruh itu dianjurkan untuk dipekerjakan kembali,” tambah Damiri.

Kriminalisasi terhadap Buruh

Buruh juga diserang oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan PT. Trimitra Chitrahasta. Anwar Supandi dkk di depan keroyok di depan pabrik. Mereka didorong dan dipaksa melepaskan seragam perusahaan yang dikenakan buruh. Itu terjadi sekitar tangal 2 Oktober 2019 lalu saat buruh mendatangi perusahan untuk bekerja sesuai dalam ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan.

Pihak buruh telah melaporkan kejadian ini ke Polres Metro Bekasi dengan Tanda Bukti Lapor Nomor TBL/64/92/X/2019/PMJ/Dit. Reskrimum terkait Pasal 170 KUHP mengenai Pengeroyokan.

Selain dilaporkan ke pihak kepolisian menggunakan UU ITE dan dikriminalisasi, beban penderitaan buruh kian bertambah. Buruh juga harus menghadapi gugatan dari pihak pengusaha terkait PHK.

Saiful Anam, yang juga pengurus F-SEDAR, menyebut apa yang dialami delapan buruh tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia, di mana buruh dalam posisi yang tidak berdaya kemudian, mengalami kekerasan. Sehingga ada penindasan berlapis tidak saja kriminalisasi, pelanggaran hak buruh dan kekerasan.

“Buruh yang dalam posisi lemah, sudah mengalami penindasan tiga lapis, kemudian sekarang dalam posisi digugat di pengadilan. Ini seharusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim untuk memutuskan agar tuntutan buruh itu di penuhi,” kata Saiful kepada Solidaritas.net awal pekan ini.

Saiful menegaskan agar pengusaha bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap delapan orang buruh PT. Trimitra Chitrahasta dan tidak dengan begitu saja melepas tangan dengan melakukan PHK dan memberikan pesangon atas nama disharmonis.

Dia juga menurutkan agar Pengadilan Hubungan Industrial harus memiliki pertimbangan hukum untuk membuat pengusaha bertanggung jawab.

“Dan bentuk tanggung jawab yang paling baik yang seharusnya pengusaha lakukan itu adalah dengan memberikan jaminan pekerjaan atau memberikan kepastian kerja kepada buruh dengan cara membayarkan hak-haknya dan memberikan kepastian kerja dengn cara mempekerjakan buruh sebagai karyawan tetap,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan