Yang terhormat Kaum Tani dan Rakyat Miskin Indonesia!
Pada hari ini kami, Rakyat Miskin Ibu Kota, yang tergabung dalam Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) ikut serta mendukung aksi memperingati Hari Tani Nasional 2015 yang diselenggarakan oleh Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I). Kami mewakili rakyat miskin dari berbagai pelosok kota Jakarta sadar bahwa apa yang diperjuangkan oleh kaum Tani dan Rakyat Miskin di Perkotaan memiliki kesamaan kepentingan. Yaitu sama-sama berkepentingan melawan pemerintahan yang pro neoliberal.
Dibawah Pemerintahan Neoliberal, kaum tani dan Rakyat Miskin Kota sama-sama dihadapkan dengan beberapa persoalan seperti: a) Terkonsentrasinya penguasaan tanah dan sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, b) konflik-konflik agraria, petani, masyarakat adat dan kaum miskin kota dengan perusahaan perkebunan, kehutanan, perusahaan tambang dan perusahaan properti, c) Liberalisasi pasar produk-produk pertanian, yang sangat memukul produksi kaum tani Indonesia. Karena produk pertanian Indonesia dipaksa bersaing dengan produsen-produsen pertanian yang sudah sangat maju. d) Masalah alat produksi pertanian yang semakin mahal akibat inflasi dan kenaikan harga BBM, sementara tidak ada jaminan atas harga produk pertanian.
Kesemuanya itu pada akhirnya akan mengakibatkan mobilisasi penduduk dari desa ke kota, akibat dihilangkannya lahan-lahan produktif di desa diganti dengan industri. Turunnya produksi pertanian, seperti saat ini yang sudah terjadi misalnya dalam produksi kedelai, beras dan lain-lain. Data sensus pertanian 2013 menunjukan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingan dengan hasil sensus pertanian 2003.
Bila kita lihat lebih jauh, seperti ditunjukkan oleh Khudori, laju konversi lahan pertanian rakyat mencapai angka 110.000 ha/tahun (pada rentang 1992-2002). Bahkan melonjak 145.000 ha/tahun pada periode 2002-2006, serta 200.000 ha/per tahun pada periode 2007-2010. Makan apabila ambil saja rata-rata konversi 129.000 ha/tahun, berarti setiap menit, sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat berubah menjadi lahan non-pertanian. Selain itu juga telah terjadi peningkatan biaya produksi pertanian menjadi 2 kali lipat, dari 250 Ribu per hektar menjadi 450 Ribu per hektar. Hal ini jelas berdampak pada terancamnya kedaulatan pangan, kemiskinan, tingginya putus sekolah, kematian ibu dan bayi dan perusakan lingkungan, dan lain sebagainya.
Sedari dulu kita sudah tahu, bahwa negeri ini adalah negeri yang berlimpah dengan segala macam bahan pangan dan sumber daya alam. Seharusnya kita dapat memanfaatkan segala yang tumbuh dan tersedia dari alam sendiri dengan sangat mudah dan tanpa halangan apapun. Hamparan luas ladang-ladang persawahan dan perkebunan menyediakan banyak tanaman pangan, buah-buahan dan sayur mayur. Dari hamparan itu pula, rakyat negeri ini dapat memelihara macam-macam ternak. Ini belum termasuk dengan lautan yang menyediakan sumber pangan yang tak kalah melimpah ruahnya.
Namun sungguh tidak masuk akal ternyata kita harus mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkan semua yang merupakan hasil dari bumi ibu pertiwi, hasil olah kerja dari saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah pertanian darat maupun laut. Apa sebabnya? Ternyata kita dipaksa oleh pemerintah untuk menanggung konsekuensi dari perjanjian dagang yang dibuat oleh pemerintah bersama negeri negeri kaya.
Perjanjian itu meminta pemerintah untuk membuka pasaran bagi produk bahan pangan dan industri dari negeri kaya lebih luas dari pada produk dari dalam negeri. Sebagai gantinya produk dari negeri sendiri lebih banyak diekspor ke luar negeri, dan yang tersisa hanya misalnya produk produk kelas dua. Sedang yang tersedia banyak di pasaran adalah produk produk pertanian dari luar negeri, yang jelas harganya lebih mahal. Sehingga produk produk yang tersedia di dalam negeri pada akhirnya harus disesuaikan harga jualnya dengan produk produk yang diekspor. Sebagai akibatnya, kuantitas permintaan akan sebuah barang seperti menjadi penentu dari naiknya harga barang, dan barang barang dagangan tidak akan pernah turun harganya. Demikianlah, kita yang miskin akan semakin miskin.
Sudah sangat sering kita mendengar perjuangan yang dilakukan oleh kaum tani ditingkat lokal, kaum tani dengan militansi berjuang melakukan reklaiming, meskipun harus berhadapan dengan aparat dan preman perusahaan, yang tidak jarang memakan korban. Perjuangan tersebut adalah basis bagi terjadinya mobilisasi nasional dan kampanye solidaritas internasional, basis bagi terjadinya aliansi dengan klas-klas terhisap lainnya dan bahkan dapat menjadi basis untuk merebut kekuasaan politik.
Tuntutan yang harus terus diperjuangkan oleh kaum Tani Indonesia:
- Pertama-tama adalah menghentikan semua paket liberalisasi di sektor pertanian, mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumber-sumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti: industri gas dan pupuk. Dan meminta tanggung jawab negara untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk insentif, subsidi, pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktifitas dan efisiensi.
- Kedua, penyelesaian sengketa-sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik para petani, mengusut dan mengadili para pelanggar HAM yang telah melukai dan membunuh kaum tani. Dan membebaskan kaum tani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri.
- Ketiga, menolak liberalisasi industri yang mendukung pertanian dan menasionalisasikannya dibawah kontrol rakyat.
Pada kesempatan ini kami juga perlu memberitahukan tindakan politik yang saat ini sedang kami lakukan diantaranya :
- Bahwa saat ini SPRI bersama dengan KPRI di Jakarta sedang bekerja keras mempersiapkan rancangan kerja politik terlibat, ikut serta dalam Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta pada tahun 2017; SPRI dan KPRI akan mengusung kader terbaiknya sebagai calon Gubenur melalui jalur Independen (perseorangan).
- Bahwa SPRI mendukung Aksi Hari Tani Nasional yang diselenggarakan oleh Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I), serta upaya Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) yang sedang berupaya membangun partai politik tandingan dari bawah. Partai Politik tandingan yang dibentuk dari bawah merupakan alat perjuangan yang akan digunakan untuk terlibat dalam Pemilihan Umum 2019. Partai Politik tandingan yang akan dibentuk tidak hanya bertujuan memenangkan perebutan kekuasaan saja, tetapi juga bertujuan sebagai alat perjuangan untuk menyatukan seluruh kekuatan rakyat tertindas.
- SPRI dan KPRI menyadari bahwa upaya perjuangan terlibat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilu 2019, harus berhadapan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sangat menyulitkan bagi keterlibatan rakyat. Untuk itu, SPRI-KPRI dan berbagai kelompok gerakan rakyat juga sedang bahu membahu berjuang menolak keras UU Partai Politik, UU Pemilihan Kepala Daerah, UU Pemilu dan berbagai UU yang mengancam DEMOKRASI dan Kebebasan Rakyat dalam berpolitik.
PANGAN MURAH UNTUK RAKYAT !
Tanah, Modal, Bibit dan Tekhnologi Modern untuk Petani !!!
Jakarta, 29 September 2015
Salam Juang,
Marlo Sitompul
Ketua Umum
Dika Moehammad
Sekjen
CP: 0817.536.137 (Marlo Sitompul)