Sistem Pengupahan di Indonesia

Solidaritas.net – Setiap orang bekerja kepada orang lain pastinya mengharapkan imbalan yang disebut sebagai upah atau gaji. Lantas apakah artinya ada imbalan dalam bentuk bukan upah? Ya, ada. Pada jaman berlaku sistem penguasaan tanah, imbalan diberikan dalam bentuk bagi hasil pertanian yang ditentukan oleh pemilik tanah. Pada masa perbudakan, imbalan diberikan dalam bentuk ransum kepada para budak agar bisa bertahan hidup.

Kini di mana kita hidup di masa kapitalisme, upah diberikan oleh pemberi kerja yang dinyatakan dalam bentuk uang yang besarnya ditentukan menurut perjanjian antara pemberi kerja dan pekerja atau menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.

Dalam Pasal 1 Angka 30 UU Nomor 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan), upah didefinisikan sebagai hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dikeluarkan.

Upah diperoleh dari keuntungan yang dihasilkan oleh pemilik modal. Mungkin ada yang berpikir bahwa, upah dikeluarkan sebagai biaya awal, di mana perusahaan belum menghasilkan penjualan apapun. Sebenarnya, jika kita mengkaji secara historis, modal yang ditanamkan saat ini, adalah hasil dari keuntungan usaha di masa lalu yang dihasilkan oleh buruh. Dalam contoh yang lebih sederhana, modal usaha kebanyakan berasal dari pinjaman bank.

Sistem pengupahan di Indonesia mengacu pada amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”, kemudian diturunkan ke dalam Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Perlindungan Pekerja

Untuk mencapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tiada cara lain selain memastikan adanya kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja buruh melalui hukum dan penegakannya di tingkat implementasi. Dalam Pasal 88 ayat (2) dan (3) kebijakan perlindungan upah pekerja direalisasikan dengan adanya ketentuan mengenai:

1. Upah minimum

Ketentuan mengenai upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan) yang selanjutnya dikenal dua jenis upah minimum, yakni: upah minimum provinsi atau kabupaten kota.

Para pekerja mengenai upah minimum provinsi sebagai UMP yang berlaku untuk seluruh provinsi, sementara upah minimum kabupaten/kota (UMK) berlaku untuk di kota tertentu. Hubungan antara kedua digambarkan sebagai berikut:

Pada tahun 2020, upah minimum Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebesar Rp1.810.351, sedangkan upah minimum Kabupaten Bekasi sebesar Rp4.498.961, maka di Kabupaten Bekasi berlaku UMK Kabupaten Bekasi.

Dalam pelaksanaannya, penetapan upah minimum didasarkan pada komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang diatur dalam Peraturan Menteri. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005 mengatur KHL sebanyak 46 jenis, kemudian berubah menjadi 60 jenis dalam Keputusan Menteri Tenaga No. 13 Tahun 2012, yang secara garis besar terdiri atas:

  • Makanan dan minuman (11 item)
  • Sandang (13 item)
  • Perumahan (26 item)
  • Pendidikan (2 item)
  • Kesehatan (5 item)
  • Transportasi (1 item)
  • Rekreasi dan tabungan (2 item)

Setelah disahkannya PP Nomor 78 Tahun 2015, penentuan persentase kenaikan upah minimum setiap tahunnya dilakukan oleh pemerintah dengan mengacu pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara, untuk KHL dievaluasi setiap lima tahun sekali.

Perlindungan terhadap upah minimum ini diperketat dengan adanya larangan bagi pengusaha untuk membayar upah minimum lebih rendah daripada upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten kota (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan). Berdasarkan ketentuan Pasal 185 UU Ketenagakerjaan, pelanggaran terhadap ketentuan upah minimum dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan yang dikenakan sanksi paling singkat satu tahun  dan paling lama empat tahun penjara dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,- dan paling banyak Rp400.000.000,-

2. Upah kerja lembur

Dalam Pasal 78 UU Ketenagakerjaan, pengusaha diperkenankan untuk mempekerjakan buruh melebihi ketentuan 8 jam kerja dengan adanya persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan dan waktu kerja paling paling banyak tiga jam per hari dan 14 jam per minggu. Pengusaha diwajibkan membayar upah kerja lembur yang ketentuannya diatur dalam Keputusan Menteri No. 102/MEN/VI/2004 sebesar 1/173 dikalikan upah sebulan (100% upah pokok + tunjangan tetap). Mengenai cari perhitungan yang lebih rinci dapat dilihat dalam Keputusan Menteri ini.

3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan

Hal ini diatur dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan pengusaha membayar upah apabila:

  1. pekerja/buruh perempuan yang mengalami sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat bekerja;
  2. pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
  3. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
  4. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  5. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
  6. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
  7. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;
  8. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Upah juga tetap dibayar apabila pekerja menjalankan hak waktu istirahat kerjanya yakni pada hari libur dan cuti. Selain itu, kebijakan pengupahan juga mencakup bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran pesangon dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Upah Layak?

Dalam Pasal 4 PP No. 78 Tahun 2015 (PP Pengupahan) mengatur tentang penghasilan yang layak sebagai jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Namun, jika kita berkaca pada kebijakan upah minimum yang terdiri dari 60 item yang diperuntukkan hanya cukup untuk seorang pekerja lajang, sebagaimana yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 43 PP Pengupahan sebagai berikut:

(1) Penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

(2) Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.

Di sini kita dapat melihat adanya kontradiksi di satu sisi pemerintah mengakui bahwa pekerja/buruh membutuhkan penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup wajar buruh beserta keluarganya, namun kebijakan upah minimum dibuat hanya untuk memenuhi pekerja lajang.

Jika kita analisa lebih jauh, penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PP Pengupahan diberikan dalam bentuk upah dan pendapatan non upah. Upah ini memang tidak sekadar upah minimum, lebih jauh lagi masih ada upah pokok dan/atau upah berdasarkan kesepakatan dengan pengusaha. Lebih jauh lagi ada struktur skala upah yang wajib disusun dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi (Pasal 14 PP Pengupahan). Sementara, pendapatan non upah juga dimungkinkan diperoleh dari tunjangan hari raya keagamaan, bonus, uang pengganti fasilitas kerja dan uang servis pada usaha tertentu.

Namun, fakta menunjukkan meskipun dimungkinkan adanya upah di atas upah minimum dan pendapatan non upah, mendapatkannya begitu sulit bagi pekerja/buruh karena tidak ada jaminan dari pemerintah untuk bisa mendapatkannya. Yang lebih celaka, pemerintah memungkinkan upah minimum terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap  yang terang-terangan disebutkan dalam Pasal 41 PP Pengupahan, “Upah minimum…merupakan upah bulanan terendah yang terdiri atas upah tanpa tunjangan; atau upah pokok termasuk tunjangan tetap.”

Tentu saja, alih-alih memilih upah tanpa tunjangan, pengusaha akan lebih memilih upah pokok termasuk tunjangan tetap, sehingga tidak perlu lagi membayar lebih tinggi daripada upah minimum. Dalam hal ini, tunjangan tetap didefinisikan sebagai “pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atatu pencapaian prestasi kerja tertentu” yang jumlahnya ditetapkan 25% dari upah.

Dulunya, ketika belum ada PP Pengupahan, Pasal 94 UU Ketenagakerjaan seringkali menjadi sumber perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dalam menetapkan upah. Pasal ini mengatur “dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap”.

Di sisi pengusaha, upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap adalah sama dengan upah minimum (upah pokok 75% + tunjangan tetap 25% = upah minimum), sedangkan dari sisi buruh, upah pokok adalah sama dengan upah minimum, sehingga upah adalah upah minimum 75% ditambah dengan tunjangan tidak tetap 25% (upah = upah minimum + tunjangan tetap 25%), sehingga akan ada tambahan upah sebesar 1/3 dari upah minimum.

Ternyata, PP Pengupahan kemudian menegaskan dan mendukung kepentingan pengusaha dalam perselisihan ini. Sekali lagi, buruh dibiarkan berjuang sendirian. Kondisi ini menjadi semakin sulit ketika buruh harus memperjuangkan komponen yang diatur dalam struktur dan skala upah karena UU tidak memperkuat posisi buruh, selain hanya menetapkan dalam Pasal 3 Permenaker No. 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah, bahwa upah yang tercantum dalam struktur dan skala upah merupakan upah pokok sebagai merupakan imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja/buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Pasal 42 PP Pengupahan mengatur upah minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun dan upah bagi pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam proses perundingan inilah, kesepakatan yang menguntungkan pihak pekerja sangat sulit dicapai, karena tidak ada dukungan hukum dari pemerintah untuk meningkatkan posisi tawar buruh dalam perundingan tersebut.

Sebagai contoh, kita tahu bahwa upah buruh seharusnya ikut meningkat apabila keuntungan perusahaan meningkat, tetapi tidak ada satu pun peraturan yang memastikan pekerja/buruh dapat mengakses keuntungan perusahaan dan mendapatkan bagian dari keuntungan tersebut. Selalu kembali kepada “kebaikan hati” (persetujuan) pengusaha belaka. Beberapa kasus yang pernah saya temui adalah kenaikan upah yang didapat dari hasil perundingan tersebut hanyalah Rp50.000-100.000 saja.

Kalau sudah begini, seringkali buruh terpaksa harus mengambil jalan yang lebih keras dengan melakukan aksi unjuk rasa, bahkan mogok kerja. Ketika tuntutan di atas normatif, maka kasus akan berlanjut ke tripartit, biasanya mediasi, di Dinas Tenaga Kerja, yang seringkali tidak netral dan justru berpihak kepada pengusaha.

Dalam kasus buruh es krim AICE yang bekerja di PT. Alpen Food Industry, misalnya, mediator Disnaker Kabupaten Bekasi, justru memenangkan formula upah pengusaha PT. Alpen Food Industry yang jelas-jelas tidak ada komponen kompetensi dan buruh berpendidikan SMA tidak mendapatkan tambahan upah (nol).  Selain itu, tambahan untuk masa kerja buruh juga hanya Rp5.000 per tahun. Akhirnya, pekerja operator produksi dengan pendidikan SMA dan masa kerja 2-3 tahun hanya mendapatkan tambahan upah Rp35.000 sampai dengan Rp50.000 saja.

Baca juga: Dinilai Tidak Netral, Buruh Minta Pencopotan Mediator Disnaker Kabupaten Bekasi

Hal ini berbeda dengan ketentuan upah minimum yang cenderung tidak berani dilanggar (terkecuali melalui jalur penangguhan upah), karena adanya sanksi tegas, yakni sanksi pidana. Dalam hal ini, yang dilindungi secara tegas adalah hak seorang buruh dengan status lajang untuk dapat hidup secara subsisten (bertahan hidup) jika berkaca dari 60 item komponen. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan yang wajar bagi buruh dan keluarganya (istri/suami dan anak-anaknya), masih jauh dari harapan, karena tidak mungkin dapat dicukupi dengan tambahan upah Rp50.000 atau bahkan Rp100.000.

Memang ada sebagian perusahaan yang dapat memberikan tambahan upah di atas minimum (tidak termasuk transport dan uang makan) beberapa ratus ribu di atas upah minimum. Namun, kondisi ini tidak dirasakan oleh sebagian besar pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang hanya membayar sekadar upah minimum saja. Itulah mengapa, pekerja di Indonesia sangat mengandalkan pemasukan tambahan dari lembur dan sangat mengharapkannya, yang pada akhirnya menambah waktu kerja dan mengurangi istirahat secara drastis.

Ke depannya, perlindungan upah buruh akan semakin tergerus apabila Omnibus Law (UU Cipta Kerja) disahkan karena dikurangi dan dihapuskan sejumlah ketentuan yang melindungi upah minimum buruh, termasuk pengenaan pidana hanya ditujukan bagi perbuatan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum provinsi.

Tinggalkan Balasan