Sjahrir dan Gerakan Buruh

0
Penulis: Jafar Suryomenggolo*

Namanya kita kenal di sekolah. Namun tidak setenar Soekarno dan Hatta. Jika nama Sudirman dapat kita temui dengan mudah di banyak kota di Indonesia, nama Sjahrir sebagai jalan hanya ada di beberapa kota saja.

Sjahrir muda.

Meski demikian, tidak perlu ada keraguan atas sumbangsih tokoh kita ini bagi bangsa Indonesia. Bukankah Sjahrir adalah salah satu tokoh pergerakan yang tidak bekerja-sama dengan penjajah Jepang? Ini tentu berbeda dari Soekarno dan Hatta yang punya catatan demikian. Pada masa penjajahan Jepang sampai kemerdekaan 1945, para pemuda bertumpu membangun gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir.

Di luar pergerakan kemerdekaan, Sjahrir juga punya andil penting bagi gerakan buruh. Memang kiprahnya tidak setenar Semaoen. Tahun 1923, saat berusia 24 tahun, Semaoen menggalang pemogokan buruh kereta api. Ini adalah pemogokan terbesar dalam sejarah penjajahan Belanda. Saat itu, Sjahrir baru berusia 14 tahun (kelahiran 1909), dan masih duduk di sekolah menengah (MULO) di Medan.

Meski remaja, Sjahrir sudah tertarik dengan dunia politik pergerakan. Terlebih, saat di sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, di tahun 1926. Pada tahun itu pula, terjadi letupan perjuangan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menentang penjajahan Belanda. Partai pertama yang secara terang-terangan menentang kolonialisme. Akibatnya, para anggota PKI ditangkap dan dibuang ke Digul. Sjahrir mengikuti betul situasi politik ini.

Usai AMS, Sjahrir menuju Belanda. Meski terdaftar sebagai mahasiswa fakultas hukum di Amsterdam, Sjahrir jarang kuliah. Malah, seringnya berkelana dan berkenalan dengan banyak tokoh. Pada saat inilah Sjahrir mulai mengenal dunia perburuhan secara langsung.

Memasuki dunia perburuhan


Sjahrir tiba di Belanda pada tahun 1929. Di tahun pertamanya itu, Sjahrir berkenalan dengan banyak tokoh pergerakan Indonesia. Salah satunya, Mohammad Hatta. Saat itu, Hatta adalah ketua Perhimpunan Indonesia, yaitu organisasi kaum pergerakan di Belanda. Hatta sendiri sudah 8 tahun di Belanda.

Tak lama juga, Sjahrir mengalami krisis keuangan. Pasalnya, sang ayah meninggal sehingga, Sjahrir tidak lagi memperoleh kiriman uang. Di tahun keduanya, Sjahrir pindah sekolah ke Leiden. Mulai saat ini pula, Sjahrir perlu mencari uang sendiri.

Karena itu, lewat beberapa kenalan orang Belanda, Sjahrir mulai membantu di kantor Federasi Buruh Transportasi Internasional (ITWF). Dikabarkan juga, Sjahrir membantu di Serikat Buruh Metal (Metaalbewekersbond)

Sjahrir tidak sepenuhnya bekerja di dalam serikat buruh. Tapi, ini menjadi pintu awal perkenalan baginya dengan dunia perburuhan, secara langsung. Lewat ITWF, Sjahrir belajar ide-ide sosialisme. Dan juga, secara langsung bertemu dan berkawan dengan buruh orang Belanda. Sjahrir juga ikut dalam berbagai kegiatan kaum buruh Belanda.

Buku kecil perburuhan


Pengalaman di serikat buruh itu mematangkan dirinya. Usai dua tahun di Belanda, di bulan Desember 1931, Sjahrir tiba kembali di Batavia (Jakarta). Mulai saat itu pula, dirinya langsung terjun ke dunia perburuhan di tanah air.

Sejak Januari 1932 Sjahrir aktif menulis untuk majalah “Daulat Ra’jat”. Terutama tentang soal-soal politik kolonial dan sosialisme. Ini adalah majalah kaum pergerakan, dan banyak dibaca oleh para pemuda. Dari sini, Sjahrir sering diundang untuk memberikan ceramah soal perburuhan.

Sepanjang tahun 1932, Sjahrir punya jadwal yang lumayan padat. Tanggal 6 Maret 1932 berceramah di Batavia. Selanjutnya, tanggal 14 Agustus di Sukabumi, dan 22 Agustus di Surakarta. Berikutnya, tanggal 13 November di Purwokerto, dan 25 November di Semarang. Lalu, tanggal 4 Desember di Bandung. Jadi, Sjahrir tidak hanya duduk santai di belakang meja, tapi langsung berkunjung ke kantong-kantong kaum buruh di Jawa.

Dari serangkaian ceramahnya ini, Sjahrir diminta oleh Persatuan Buruh Kereta Api Indonesia (PBKI) untuk menuliskan pemikirannya tentang perburuhan. Terbitlah, “Pergerakan Sekerdja” di tahun 1933. Buku ini terbit di Batavia, dan dijual ke banyak serikat di pulau Jawa.

Di dalam buku kecil itu, Sjahrir dengan jelas menyatakan bahwa “banjak tanda-tanda jang menundjukkan kebangunan kaum buruh Indonesia kembali, baiklah untuk memadjukan ke tengah soal buruh dan sarekat sekerdja.”

Ini tentu sesuai dengan perkembangan gerakan buruh di tahun 1930-an. Usai pemogokan buruh kereta api tahun 1923, gerakan buruh dikekang dan diawasi ketat oleh penjajah Belanda. Meski tidak sepenuhnya dilarang, organisasi buruh sulit bergerak dan melempem. Akibatnya, hanya semata-mata menyuarakan tuntutan ekonomi belaka. Menurut Sjahrir, serikat buruh justru mesti bergerak lebih luas. Di dalam buku kecil ini, Sjahrir menuangkan gagasan-gagasannya.

Masyarakat baru


Serikat buruh di tahun 1930-an tentu memiliki corak yang berbeda dari tahun 1920-an. Hal ini akibat ketatnya pengawasan penjajah Belanda dan juga, krisis ekonomi yang pelan-pelan mulai dirasakan.
Meski demikian, gerakan buruh di tahun 1930-an sudah mulai meluas. Apabila di tahun 1920-an hanya di kalangan buruh perkotaan, maka di tahun 1930-an ada banyak serikat buruh di berbagai industri dan juga di kalangan buruh pertanian. Jadi, sudah ada kesadaran untuk berorganisasi.
Oleh Sjahrir, kesadaran ini didorong untuk lebih maju. Yaitu, dengan berani untuk berhadap-hadapan langsung dengan kapitalisme. Seperti yang diungkapkannya:

“ …selain dari mengembangkan, mentjari anggauta jang sebanjak-banjaknja, pergerakan sekerdja djuga perlu terus menerus menjebarkan kepertjajaan kaum buruh akan dirinja sendiri, akan kesanggupannja untuk mengadakan suatu masjarakat baru…”

Jelaslah, menurut Sjahrir, gerakan buruh bukan hanya semata-mata menuntut perbaikan upah, tapi mesti berhadapan langsung dengan kapitalisme. Tujuannya, untuk membangun masyarakat baru. Yaitu, masyarakat yang tidak bersendi pada kapitalisme.

Guna mencapai masyarakat baru yang demikian, Sjahrir menyebutkan bahwa kaum buruh mesti memiliki “kepertjajaan akan dirinja sendiri”. Namun, bagaimana agar buruh mampu memiliki hal demikian?

Sebab, di dalam kenyataannya masih banyak kaum buruh yang masih takut dan ragu akan kemampuan dirinya sendiri. Ini suatu penyakit yang juga diderita kaum buruh zaman sekarang. Jelas, “kepertjajaan akan diri sendiri” tidak muncul serta-merta. Melainkan, mesti ditumbuh-kembangkan, dibina dan diuji langsung.

Oleh Sjahrir, serikat buruh punya tugas untuk “menjebarkan kepertjajaan kaum buruh akan dirinja sendiri”. Tugas ini adalah panggilan kerja bagi serikat buruh. Caranya, seperti yang diungkapkan Sjahrir, adalah:

“Pergerakan sekerdja, persatuan buruh ini, harus memberi penerangan pendidikan kepada kaum buruh, terutama kepada anggauta-anggautanja, tentang segala jang perlu untuk menguatkan pergerakan buruh menambah ketjakapan dan kekuatan kaum buruh di dalam mempertahankan dirinja, menentang kapitalisme.”

Jadi, menurut Sjahrir, masyarakat baru itu hanya bisa dicapai jika serikat buruh memimpin dan memberikan pendidikan sehingga kaum buruh punya kepercayaan akan dirinya sendiri, untuk menentang kapitalisme.

Gagasan Sjahrir dan kita


Sejarah mencatat Sjahrir punya andil dalam gerakan buruh. Di dalam usianya yang masih muda, 23 tahun sampai sekitar 25 tahun, Sjahrir terjun langsung di dalam gerakan buruh Indonesia. Ia melakukan kerja nyata dan juga, menuliskan gagasan-gagasannya. Bagi banyak pemuda pada masa itu, Sjahrir menjadi tokoh yang nyata dan tidak basa-basi.

Karena itu, kiranya kita perlu membaca kembali gagasan-gagasannya. Masih banyak hal yang bisa kita pelajari dari Sjahrir. Terutama juga, bagi gerakan buruh kita di zaman sekarang ini.

*) Penulis adalah pemerhati perburuhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *