Solidaritas.net, Jakarta – Berkaitan dengan munculnya polemik semenjak disepakatinya kenaikan tunjangan bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) oleh Kemenkeu, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) meminta DPR tidak bermain dua kaki soal, dengan bersikap malu tapi mau.
Belakangan ini, kenaikan tunjangan bagi DPR memang menaghadirkan polemik. Dimana ada beberapa sebagian anggota DPR yang mengelak bahwa fraksinya menyepakati kenaikan tersebut, adapula sebagian yang lain yang blak-blakan mengakui menyepakatinya karena dianggap bermanfaat untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Seperti politikus PPP yang menilai fraksinya tidak menolak kenaikan tunjangan. Menurutnya, anggaran tersebut bisa berguna untuk menunjang tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Menurutnya, apabila ada anggota yang menolak kenaikan tunjangan, dapat menghibahkan kembali ke negara.
Sementara itu, beberapa fraksi sudah menyatakan menolak penaikan tunjangan itu, di antaranya NasDem dan PDIP. Alasannya, menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, kondisi ekonomi saat ini mengesankan penaikan tunjangan DPR kurang tepat.
“Kami melihat ada banyak ancaman PHK. Penaikan tunjangan di tengah kinerja yang belum memuaskan bagi rakyat,” ujar Hasto, dilansir dari mediaindonesia.com.
Senada dengan itu, menurut anggota DPR dari Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, NasDem tidak pernah mengusulkan penaikan itu. Diungkapkan, bahwa usul datang dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Sekjen DPR RI pada Maret 2015. Waktu itu mayoritas fraksi menyatakan setuju. Alasannya inflasi yang naik setiap tahunnya. Posisinya, kata Irma, saat itu kondisi rupiah belum melemah seperti saat ini.
Sedangkan, ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta Menkeu merevisi surat keputusan penaikan tunjangan tersebut.
“Kalau SK bisa direvisi, bagus. PHK naik, ekonomi berat, guru demo tanyakan nasib, lalu kita yang jadi pejabat menaikkan tunjangan, tidak pas,” pungkasnya.
Demikian pula sikap Fraksi Golkar, seperti yang diungkapkan Wakil Ketua Fraksi Golkar Firman Soebagyo, belum membahasnya. Kendati demikian, Firman mengatakan sepakat agar surat Menkeu terkait dengan persetujuan penaikan tunjangan itu dikaji kembali.
Menanggapinya, Fitra meminta agar DPR tidak bermain didua kaki, tidak bersikap mau tapi malu. Pasalnya dalam perhitungan Fitra, dengan penaikan itu, anggota biasa akan dapat uang dibawa pulang (take home pay) sebesar Rp. 57 juta, untuk wakil ketua alat kelengkapan/komisi DPR Rp.59 juta, serta untuk ketua komisi dan alat kelengkapan mencapai Rp. 60,5 juta.
“Alokasi anggaran ini sudah telanjur disetujui oleh pemerintah, yaitu Kemenkeu. Namun, menurut kami, tunjangan ini dapat dan harus dibatalkan oleh pemerintah,” tegas Sekjen Fitra, Yenny Sucipto, Jumat(18/9/2015).