Jakarta- Lembaga perlindungan buruh migran perempuan Solidaritas Perempuan (SP) mencatat di tahun 2016, terjadi 66 kasus kekerasan dan pelanggaran hak terhadap buruh migran perempuan.
![]() |
Ilustrasi Pekerjaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Sumber : Pixabay.com |
Dari catatan tersebut, didominasi persoalan gaji yang tidak pernah dibayar hingga perdagangan manusia (trafficking) yang dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Koordinator penanganan kasus Solidaritas Perempuan, Nisa Yura mengungkapkan, kekerasan dan pelanggaran hak perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri disebabkan minimnya perlindungan yang diberikan pemerintah Indonesia.
“Indonesia selama ini menuntut negara tujuan untuk melindungi. Tapi Indonesia sendiri tidak punya bentuk perlindungan yang spesifik,” ujar Nisa di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kamis(5/1). Status PRT yang belum diakui sebagai pekerjaan menjadi salah satu faktor yang membuat hak-hak ketenagakerjaan PRT terus dilanggar dan sulit mendapat keadilan.
Di samping itu, pelatihan yang diberikan perusahaan penyalur tenaga kerja hanya mengajarkan hal-hal teknis terkait pekerjaan namun tidak dijelaskan hak-hak ketenagakerjaan mereka.
“Harusnya diberkan informasi soal hak tenaga kerja selama mereka ikut pelatihan. Selama ini pelatihan hanya soal rumah tangga,” ujar Nisa Yura. .
Alasan memilih pekerjaan sebagai PRT masih dianggap sebagai pilihan utama, himpitan ekonomi dan kurangnya lapangan pekerjaan di tempat kelahiranya merupakan alasan perempuan memilih pekerjaan tersebut. Namun, alih-alih mendapatkan penghasilan dan memperbaiki ekonomi keluarga, buruh migran yang bekerja di sektor domestik harus mendapatkan kekerasan baik fisik atau tidak digaji.