Solidaritas.net – Tidak sedikit buruh pabrik yang mengalami stres kerja yang terlalu berat. Belum lagi tuntutan kebutuhan hidup bagi keluarganya yang juga harus dipenuhi setiap saat, sedangkan kemampuan ekonomi masih terbatas, sehingga benar-benar mengorbankan jiwa, raga dan kerja dijadikan tuntutan utama untuk kehidupan. Kondisi inilah yang kemudian sering kali membuat para buruh pabrik menjadi tertekan. Bahkan mengakibatkan kekacauan mental dan emosional.
Ada beberapa kasus buruh pabrik yang sampai mengalami depresi, karena kondisi stres yang terjadi terus-menerus. Salah satunya seperti yang dialami oleh buruh pabrik pipa PT Mitsuba, pada Januari 2014, Cikarang. Sebut saja Bambang (nama samaran), sampai hati membunuh istri dan anaknya sendiri. Kepada polisi, Bambang mengaku depresi karena harus memenuhi target perusahaan, karena pihak perusahaan mengancam buruhnya akan kehilangan pekerjaan di kalau tidak dapat memenuhi terget produksi yang telah ditentukan.
Resiko stres yang sering dihadapi oleh buruh ini harus mendapat perhatian, baik oleh buruhnya sendiri, maupun pihak Perusahaan yang mempekerjakannya. Sama halnya dengan buruh di Jerman, Menteri Tenaga Kerja, Ursula von der Leyen, mendesak para Pengusaha dan Serikat Buruh/Pekerja untuk mencari solusi untuk mengatasi persoalan tersebut. Ursula berharap kedua pihak antara buruh dan pihak perusahaan bisa menyepakati kode untuk mengurangi masalah stress di tempat kerja.
“Pada tahun 2011, kita menemukan 59 juta hari kerja terbuang karena penyakit psikologis. Itu merupakan peningkatan lebih dari 80 persen dalam 15 tahun terakhir. Biayanya benar-benar jumlah uang yang besar, diperkirakan senilai 6 miliar euro pada 2011 (sekitar 8 miliar dolar AS),” ungkap von der Leyen, Berlin. DeutscheWelle,www.dw.de.
Masalah stres di tempat kerja ini memang berpengaruh terhadap pengeluaran di Jerman dalam hal waktu, uang dan kesehatan. Masalah stres di tempat kerja memang memberikan dampak yang sama pada kehidupan dan keuangan, bahkan lebih besar dari catatan yang pernah ada sebelumnya. Selain itu, tentu stres yang dialami para buruh, juga mempengaruhi produktivitas kerja mereka dan memberi dorongan kesadaran untuk memilih pensiun dini.
Dalam penelitiannya, Insitut Federal Keselamatan dan Kesehatan (BAuA) Jerman, mendapatkan 43 persen dari jumlah 17.600 buruh, mengalami gangguan atau kekacauan mental dan emosional, yang di akibatkan oleh keterpaksaan kerja untuk mencapai target produksi yang diharuskan perusahaan.
Bahkan banyak yang mengatakan, Mereka menghadapi tekanan waktu yang begitu parah, kemudian mengambil cuti karena persoalan psikologi dan 70 persennya mengatakan penyebabnya adalah stres. Ironisnya, hampir setengah dari Pekerja Tetap (PKWTT) yang disurvei dalam penelitian itu mengatakan pekerjaan mereka lebih dari 40 jam per minggu. Bahkan, satu dari enam orang mengatakan lebih dari 48 jam berada di tempat kerja dan lebih dari 60 persen tetap bekerja pada hari Sabtu.
“Organisasi kami telah mencatat peningkatan tajam mengenai kasus stres di tempat kerja sampai 2006, dengan tingkat yang tersisa relatif konsisten sejak saat itu,” ucap Presiden BAuA, Isabel Rothe dalam laporan hasil penelitian lembaganya tersebut.