Surat Edaran Mahkamah Agung Jegal Hak Buruh Atas Upah Proses

0
Foto ilustrasi (kredit geotimes.co.id)
Foto ilustrasi (kredit geotimes.co.id)

Solidaritas.net – Dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur bahwa selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka kedua belah pihak harus tetap melaksanakan kewajibannya. Buruh wajib untuk tetap bekerja dan pengusaha tetap membayarkan upah beserta hak-hak lainnya seperti biasa.

Penyimpangan dapat dilakukan oleh pengusaha dengan melakukan skorsing kepada buruh dengan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima buruh. Kedua hal ini diatur pada pasal 155 ayat (2) dan (3) dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selanjutnya pada pasal 96 dalam UU no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diatur tentang upah proses sebagai berikut:

  1. Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal 155 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
  2. Putusan sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
  3. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
  4. Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.

Dalam artikel sebelumnya (baca: PHI Melemahkan Gerakan Buruh), telah disebutkan bahwa dalam prakteknya, mayoritas hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak bersedia mengabulkan Putusan Sela. Namun jika hakim PHI bersedia mengabulkan Putusan Sela, buruh masih harus berhadapan dengan satu persoalan lagi.

Persoalan itu berupa butir ke-7 dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2000, yang dipertegas kembali melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2001. Dalam surat edaran tersebut dinyatakan adanya kewajiban pemberian jaminan yang nilainya setara dengan nilai barang/obyek eksekusi terhadap putusan serta merta[1].

Alasan bagi kewajiban memberikan jaminan tersebut adalah untuk menghindari kerugian pada pihak lain, apabila dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Sebagai contoh buruh di PHK dan tidak menerima upah beserta hak-hak lainnya selama 6 bulan, jika Putusan Sela dikabulkan, maka buruh harus memberikan jaminan senilai 6 bulan upah beserta hak-hak lainnya terlebih dahulu sebelum eksekusi dapat dilakukan.

Serupa dengan pelanggaran perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), selain berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), maka sanksi yang dapat dijatuhkan jika perkara ini diperselisihkan di PHI adalah pemberian pesangon.

Berlawanan dengan tujuan memperkarakan pelanggaran PKWT yang menghendaki adanya jaminan pekerjaan, sanksi bagi pelanggarannya justru pesangon yang berarti pemutusan hubungan kerja. Demikian pula upah proses, berlawanan dengan tujuan adanya Putusan Sela, justru buruh harus memberikan uang senilai upah proses yang dituntut sebagai jaminan terlebih dahulu.

Catatan kaki:
1. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1538/dasar-hukum-dan-pelaksanaan-putusan-serta-merta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *