Surat Terakhir Bimo Petrus untuk Ayahnya

Bimo Petrus (Foto: Dian Paramita)

Malang- Siang itu kami berkunjung ke rumah Bimo Petrus di Malang, Rabu(5/10). Kami disambut hangat oleh Oetomo, Ayah Bimo. Obrolan diawali dengan cerita pengalaman Oetomo saat mengunjungi Bromo di waktu muda.

Lalu kami dipersilahkan makan.

“Ibu tinggal mencet tombol masak di ricecooker, maka jadilah makanan ini,” tutur Oetomo sambil tersenyum bercanda

Oetomo kemudian bercerita mengenai anaknya. Matanya berkaca-kaca sambil menunjuk kursi dimana Ia dan istrinya duduk bersama saat Bimo meminta izin pindah ke Jakarta.

“Pilihanku ini resikonya 4B (Buru, Bui, Bunuh, Buang),” tutur Oetomo menirukan Bimo

Saat itu, kenang Oetomo, Ibu Bimo menangis terus-menerus karena putranya diizinkan pindah ke Jakarta sedangkan resikonya begitu berat.

“Kamu itu gimana Pak. Kenapa diberi izin,” begitu kata Ibu, tutur Oetomo dengan matanya yang berkaca-kaca dan tangannya yang selalu mengusap wajahnya

Sejak putranya itu pindah ke Jakarta dan mengetahui aktivitasnya, Oetomo memulai kebiasaan barunya. Ia mulai mengarsipkan koran-koran yang memuat tentang perjuangan massa melawan kekejaman rezim Orde Baru.

Bergegaslah Oetomo ke kamar untuk mengambil arsip tersebut. Ternyata di antara koran-koran yang diarsipkan itu terselip beberapa surat Bimo. Salah satunya adalah surat yang Bimo tulis pada 26 Desember 1997.

Isi surat itu diawali dengan permintaan maaf karena dirinya tidak bisa berkumpul bersama keluarga saat Natal. Ia juga menegaskan, bahwa surat tersebut khusus ditujukan pada Ayahnya.

Menariknya, dalam surat tersebut Bimo menyarankan ayahnya untuk menjadi lurah. Sejumlah alasan dikemukakan Bimo agar ayahnya maju menjadi lurah.

Pertama, menurut Bimo, ayahnya sudah tidak sibuk mengurusi dan memperhatikan anak-anaknya sehingga bisa memikirkan politik.  Kedua, Lurah Bumirejo saat itu sudah tidak populer lagi di mata rakyat karena suka memanipulasi dan korupsi tanah penduduk.

Kemudian alasan ketiga, kata Oetomo, Bimo melihat ayahnya cukup populer sehingga akan banyak mendapat dukungan. Sedangkan mengenai program pembangunan, tulis Bimo, itu bisa didiskusikan nanti. Bagi Bimo, yang terpenting adalah memanfaatkan kesempatan itu dulu.

Keempat, mengenai keuangan untuk maju sebagai lurah. Bimo meyakini dukungan rakyat tidak harus diraih dengan uang. Menurutnya, kesadaran baru, program yang akan dilaksanakan dan memanfaatkan kedekatan emosional dengan warga desa bisa jadi modal hebat dari sekedar finansial.

Alasan kelima yang dikemukakan Bimo, melalui kekuasaan maka bisa lebih leluasa memberi penyadaran-penyadaran kepada rakyat. Soal agama Protestan yang dianut ayahnya, kata Bimo, tidak akan jadi persoalan untuk maju sebagai calon lurah karena yang terpenting baginya adalah berempati terhadap agama lain.

Ketujuh, Bimo memprediksikan Partai Golkar tidak akan menang di Bumirejo sehingga partai tersebut malas untuk mengangkat seseorang sebagai calon lurah. Artinya, ada kesempatan bagi siapapun untuk menjadi lurah.

Alasan kedelapan, mengenai ibunya yang saat itu bekerja sebagai guru, katanya bisa ‘dilengser keprabonkan’. Kata dia, jika ibunya masih ingin berkarya sebagai guru maka bisa menjadi guru di desa karena desa sangat membutuhkan seorang guru seperti ibunya.

Di akhir suratnya Bimo menegaskan, satu hal terpenting terkait motivasi untuk menjadi lurah bukan untuk uang.

“Sekali lagi, bukan untuk uang. Keluarga kita sudah berkecukupan (atau baca: pas-pasan) dengan segala rezeki dari Tuhan. Ini adalah masalah tugas mulia memimpin suatu kelompok masyarakat, berpolitik memang berbahaya tapi mengasyikkan,” tulis Bimo dalam suratnya

Di akhir surat, seperti biasa, Bimo meminta surat itu dibalas dan mengirimkannya melalui kawannya bernama Mega. Walaupun begitu, Ayah Bimo tidak jadi mencalonkan diri sebagai lurah karena beberapa alasan. Salah satunya adalah tidak didukung oleh keluarga.

Bimo Petrus adalah salah seorang aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Bimo diperkirakan hilang pada 13 Maret 1998 seiring dengan gencarnya gerakan reformasi.

Diduga, ia hilang berkaitan dengan aktivitasnya di organisasi. Mahasiswa Unair yang kemudian pindah ke STF Driyakara itu hilang setelah bersama teman-teman aktivisnya setelah mengikuti rapat di daerah Pasar Baru.

Tinggalkan Balasan