Solidaritas.net, Jakarta – Menanggapi surat edaran dari berbagai pihak yang dinilai menghalang-halangi mogok nasional buruh pada 24-27 November, Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat (TABUR) Tolak PP Pengupahan mengimbau agar buruh mengacuhkan surat edaran tersebut. Pasalnya, surat edaran tersebut bukanlah produk hukum.
Dalam menyikapi isu rencana mogok nasional 24-27 November 2015, diketahui Bupati Bekasi, dalam Surat Edaran Nomor : 560/SE-59/DISNAKER/XI/2015 tertanggal 20 November 2015, menyatakan bahwa mogok nasional tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka upah selama mogok nasional dan atau unjuk rasa secara nasional tidak dibayar (no work no pay).
Membantahnya, Pratiwi Febry selaku Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta sekaligus anggota TABUR Tolak PP Pengupahan menjelaskan, buruh dan rakyat Indonesia dalam melaksanakan mogok nasional dan unjuk rasa telah dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 21/2000 tentang SP/SB, Konvensi Ekonomi Sosial dan Budaya diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, serta Konvensi ILO 87.
Sehingga diimbau agar seluruh elemen buruh yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi untuk mengacuhkan surat edaran itu karena bukan merupakan produk hukum. Kemudian, kepada seluruh pengusaha melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Pratiwi juga meminta agar tidak menghalangi-halangi hak buruh untuk melakukan mogok nasional dan unjuk rasa.
Dalam siaran persnya, TABUR menegaskan, apabila ada pihak yang menghalangi dan menghambat pelaksanaan unjuk rasa dan mogok nasional dalam rangka menjalankan aktivitas/kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mengancam kebebasan dan kemerdekaan berserikat, maka hal tersebut merupakan tindak pidana kejahatan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf e Jo. Pasal 28 UU Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
“Jika pasal-pasal tersebut dilanggar, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun,” tegasnya.