Tahun 2015 Polisi Dominasi Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis

kekerasan terhadap jurnalis
Foto ilustrasi. Kredit: Tifafoundations.org / Padang Ekspres.

Solidaritas.net, Jakarta – Menjelang berakhirnya tahun 2015, dua lembaga pers membeberkan data kekerasan terhadap jurnalis. Dua lembaga tersebut yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta. Dari data ke dua lembaga tersebut, ditemukan lembaga kepolisian menjadi urutan nomor satu pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

World Press Freedom Index 2015 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis) mendata kekerasan terhadap Jurnalis di Indoenesia berada di posisi 138 dari 180 negara. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2014 yakni di posisi 132.

Meningkatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis juga dibenarkan oleh AJI Indonesia. Data dari AJI Indonesia mengungkapkan, sepanjang tahun 2015 sedikitnya ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini jelas meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 40 kasus. Lebih menarik lagi, pelaku kekerasan terbanyak dilakukan kepolisian, dengan 14 kasus (tahun lalu 7 kasus kekerasan oleh polisi). Disusul orang tidak dikenal 7 kasus, satuan pengaman 5 kasus, warga biasa 4 kasus, bupati 3 kasus, PNS dan mahasiswa masing-masing 2 kasus dan lain-lain.

Menanggapi hal tersebut, Suwarjono selaku ketua umum AJI Indonesia menganggap tahun 2015 ini menjadi tahun paling buruk soal kebebasan pers.

“Tahun ini sangat mundur soal kebebasan pers. Kekerasan meningkat, upaya mengkriminalisasi jurnalis makin banyak. Sejumlah kebijakan juga tidak mendukung kebebasan pers. Padahal di 2014, saat isu-isu politik sangat kuat, pemilu legislatif dan pilpres,  namun dibandingkan tahun lalu, kekerasan tahun ini justru meningkat,” ungkap Jono saat menggelar konferensi pers ‘Catatan Akhir Tahun 2015 AJI’ di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Minggu (20/12/2015), dilansir dari suara.com.

Sementara, LBH pers mengungkapkan tahun ini angka kekerasan terhadap jurnalis tidak setinggi tahun lalu, namun masih tetap didominasi oleh kepolisian. LBH pers mencatat terdapat 47 kasus kekerasan yang melibatkan jurnalis. Dari 47 kasus tersebut, tecatat ada 17 perkara yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Asep Komarudin selaku kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers mengungkapkan tahun sebelumnya lebih banyak terjadi kekerasan terhadap jurnalis juga merupakan faktor pemilihan presiden (pilpres).

“Dibandingkan tahun lalu, lebih tinggi angkanya tahun lalu. Tapi kesamaannya, aktor yang melakukan kekerasan masih dominan oleh polisi. Tahun lalu banyak karena ada faktor pilpres,” Kata Asep di kawasan Cikini Jakarta, Selasa (22/12) dilansir dari CNN Indonesia.

Tahun 2014, lembaga kepolisian sudah menjadi aktor utama pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Kesalahan yang sama dilakukan kembali di tahun 2015 ini. Asep mensinyalir bahwa, ini dikarenakan adanya impuntas hukum. Sehingga, aparat kepolisian tidak belajar dari kesalahan sebelumnya, dan masih mengulang kesalahan-kesalahan yang sama.

“Ini memberikan tanda bahwa aparat kepolisian belum belajar dari kesalahan sebelumnya. Kekerasan terhadap pers masih tetap ada karena pelaku kekerasan tidak diproses sebagaimana mestinya. Mereka tidak dihukum dan orang lain akan menirunya,” Kata Asep.

Menanggapi kasus ini, AJI memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk mengatasi permasalan tersebut. Seperti dinukil dari suara.com, ada tujuh rekomendasi AJI untuk pemerintah, yaitu:

Pertama, Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis agar kebebasan pers dan bereskpresi tidak semakin memburuk, penegasan Polri sebagai pelindung masyarakat termasuk jurnalis. Karena kasus kekerasan kepada jurnalis yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini menempati posisi pertama, ada 14 kasus padahal mereka sebagai penjaga kebebasan itu.

Kedua, Presiden perlu memastikan agar Kapolri merevisi UU ITE agar tidak mengekang kebebasan pers dan berpendapat mampu membedakan hate speech, pencemaran dan penghinaan serta kritik terhadap penyelenggaraan bernegara.

Ketiga, pembenahan pendidikan terhadap aparat kepolisian dengan memasukkan prinsip kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dalam kurikulum.

Keempat, perbaikan peradilan internal polri terhadap pelaku kekerasan terhadap pers dan menyelesaikan kasus pembunuhan kepada wartawan.

Kelima, memerintahkan Kapolri untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk kasus sengketa pemberitaan berdasarkan MoU 01/DP/MoU/II/2012.

Keenam, perusahaan-perusahaan pers memperbaiki kesejahteraan jurnalis dan kontributor, mendukung keberadaan serikat pekerja, mengutamakan dialog dan mengupayakan perjanjian kerja bersama dengan serikat pekerja.

Ketujuh, jurnalis-jurnalis Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme dam etika dengan mengikuti pelatihan dan pendidikan serta uji kompetensi.

Tinggalkan Balasan