Solidaritas.net, Makassar – Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun, jika syarat ini tidak terpenuhi maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal ini tercantum dalam Pasal 59 ayat (4) dan (7) UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal inilah yang dijadikan dasar gugatan Litha Sanggaria, seorang buruh BII Finance cabang Makasar, yang diberhentikan oleh perusahaan dengan alasan kontrak tidak diperpanjang.
Litha Sanggaria adalah buruh yang bekerja di BII Finance Makasar selama 3 tahun 4 bulan terhitung sejak 14 Oktober 2010. Ia menduduki posisi sebagai Credit Admin dengan upah terakhir sebesar 1,17 juta rupiah. Selama ini Ia bekerja dengan baik, terbukti dengan adanya kenaikan upah dan juga perpanjangan kontrak kerja yang telah dilakukan oleh BII Finance sebanyak 3 (tiga) kali. Perjanjian kerja waktu tertentu yang terakhir berlaku mulai tanggal 14 Oktober 2013 s/d 14 Januari 2014 berdasarkan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT) Nomor SKK II.2013/2953/HRD-BIIFC.
Namun setelah kontrak kerja yang terakhir ini, BII Finance melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Litha dengan tidak memperpanjang kontrak kerjanya. Padahal kontrak tersebut telah diperpanjang selama 3 kali dan telah berjalan selama 4 tahun, sehingga seharusnya status perjanjian kerja waktu tertentu tersebut berubah demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (buruh tetap). Atas dasar ini Litha menuntut hak atas uang pesangon dan hak lainnya jika perusahaan hendak melakukan pemutusan hubungan kerja sesuai UU Ketenagakerjaan.
Akan tetapi BII Finance menolak tuntutan Litha atas uang pesangon tersebut, karena menganggap bahwa hubungan kerja LItha dengan perusahaan telah berakhir sesuai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu dan perusahaan tidak mempunyai wajib memberikan hak pesangon. Sikap BII Finance membuat Litha memutuskan untuk membawa perkara ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar dengan pengajuan tuntutan pemberian uang pesangon dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan..
Majelis Hakim PHI Makassar pun, melalui putusan nomor 11/PHI.G/2014/PN.Mks tertanggal 14 Agustus 2014, memutuskan untuk menerima gugatan Litha dan menghukum BII Finance membayar segala uang pesangon dan hak lainnya sebesar 21 juta rupiah serta menyatakan hubungan kerja Litha Sanggaria dengan BII Finance Makassar telah putus. Alasan Majelis Hakim PHI Makassar memutuskan berdasar pada UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 59 ayat (2), (4), dan (7), dimana hubungan kerja antara Litha dengan BII Finance telah berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (tetap) sehingga, saat terjadi PHK, Litha berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Namun demikian, putusan ini juga bermakna bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa alasan apapun, meski di dalam aturan ketenagakerjaan sendiri telah ditentukan hal-hal apa saja yang diperbolehkan menjadi dasar pemutusan hubungan kerja (PHK). Kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai sarana penyelesaian perselisihan hubungan industrial justru dirasakan oleh kaum buruh semakin mempermudah PHK ketimbang memberikan perlindungan terhadap buruh atas tindakan PHK.
Editor: Andri Yunarko